> >

Jejak Kekerasan 1965 di Aceh Tengah: Kakek Saya Disembelih dan Kepalanya Diarak di Takengon (1)

Bbc indonesia | 28 Januari 2022, 20:35 WIB
Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S. (Sumber: Getty Images)

Jejak pembantaian 1965 di Aceh Tengah dapat dilacak dari kisah sebuah desa yang dicap 'desa PKI', arak-arakan massa membawa potongan kepala petinggi PKI, hingga teka-teki siapa yang membakar sebuah masjid dua bulan jelang G30S 1965.

Salah-satu peristiwa horor di wilayah itu terjadi tidak lama setelah pembunuhan sejumlah perwira Angkatan Darat dan kudeta yang gagal di Jakarta, awal Oktober 1965.

Huru-hara politik di ibu kota itu kemudian mengubah lanskap politik Indonesia untuk selamanya.

Sukarno berada di tebing jurang, dan rezim militer perlahan-perlahan merangkak naik, dan PKI... berangsur-angsur jadi debu. Orang-orangnya menjadi pesakitan — diburu dan dibunuh.

Imbasnya, darah pun berceceran di sudut-sudut Kota Takengon dan sekitarnya.

Dan, salah-satu peristiwa horor pada tahun-tahun gelap di dataran tinggi itu adalah pembunuhan keji terhadap salah-seorang pimpinan lokal PKI.

Setelah ditembak dan disembelih, mayatnya 'dibuang' dan kepalanya sengaja diarak keliling kota Takengon.

Arak-arakan massa menenteng potongan kepala ini menjadi tontonan sebagian warga kota itu ketika gelombang pembantaian terhadap orang-orang komunis tengah digencarkan.

Aksi brutal itu hanyalah salah satu dari berbagai kasus kekerasan di wilayah itu dengan korban orang-orang komunis serta mereka yang dikaitkan dengan PKI.

Jumlah korban meninggal di Aceh Tengah terbilang paling tinggi jika dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Aceh, ungkap penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin.

Baca juga:

Dokumen internal militer Aceh, seperti terekam dalam penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin (dan diterbitkan dalam buku The Army and The Indonesian Genocide-Mechanics of Mass Murder, 2018 — buku edisi bahasa Indonesia akan diterbitkan pada 24 Februari 2022), menyebut setidaknya ada 500 orang dibantai di dataran tinggi itu.

(Petikan wawancara dengan Jess Melvin dapat dibaca pada bagian bawah artikel ini).

Namun sebuah penelitian independen yang sedang berlangsung, memperkirakan operasi pembersihan orang-orang komunis itu mengakibatkan 2.500 mati terbunuh.

Trauma akibat kekerasan dan stigma anti Tuhan, membuat sebagian besar keluarga penyintas 1965 di Aceh Tengah lebih memilih menutup rapat-rapat masa lalunya.

Namun demikian, sejumlah warga Takengon menawarkan semacam jalan keluar dari luka-luka masa lalu itu dengan caranya masing-masing.

Bagaimana nasib keluarga pimpinan PKI yang potongan kepalanya diarak?

Kembali ke peristiwa arak-arakan membawa potongan kepala pimpinan PKI itu tadi.

Lebih dari 55 tahun kemudian, tindakan sadis itu masih menghantui masyarakat di sana.

Tapi, bagaimana nasib keluarga korban yang kepalanya diarak itu? Tidak banyak yang tahu.

Selama puluhan tahun keluarganya memilih mengubur dalam-dalam episode gelap dalam hidup mereka.

Namun pada awal Oktober 2021 lalu, melalui sumber BBC News Indonesia di Takengon, salah seorang cucu sang korban menyatakan bersedia untuk bersaksi. Pria ini berusia 30an tahun.

Siang itu kami bertemu di sebuah hotel di Kota Takengon. Kami semula mengira dia bersedia mengungkap jati dirinya, namun pada detik-detik terakhir dia meminta identitasnya disamarkan.

"Saya harus melindungi keluarga, ibu saya masih sakit," kata Budi — bukan nama sebenarnya — menjelaskan alasannya.

Alasannya lainnya, Budi khawatir kesaksiannya ini akan memancing tudingan seolah-olah dirinya "membela" PKI.

"Padahal saya mau ungkap sebuah kebiadaban masa lalu," katanya.

Dia tidak siap menghadapi bombardir stigma "PKI" diarahkan kepadanya.

"Saya punya anak dan istri," ujarnya. Akhirnya kami sepakat untuk menyamarkan identitasnya.

Baca juga:

'Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon'

Cerita pun mengalir dari mulut Budi. "Kakek saya pengurus PKI dan serikat buruh di Aceh Tengah," ungkapnya membuka kisah. Dia tinggal di Kota Takengon.

Tidak lama setelah G30S 1965, kakeknya ditangkap bersama ratusan orang-orang tertuduh komunis lainnya.

Setelah sempat dipenjara, sang kakek dan tahanan lainnya dinaikkan ke dalam truk menuju kawasan perbukitan di pinggiran kota. Di sisinya ada jurang nan dalam.

Masyarakat Takengon dan sekitarnya menyebut kawasan yang kadang-kadang diselimuti kabut itu sebagai bur Lintang — bur artinya gunung atau bukit dalam bahasa Gayo.

Di sanalah orang-orang yang kepalanya ditutup karung itu antre untuk disembelih atau ditembak. Tapi, "kakek saya lari, dia loncat" bersama dua orang lainnya.

Sempat bersembunyi di hutan dan perkebunan kopi, dia memutuskan kembali ke rumah karena kelaparan. Di dalam rumah, neneknya dan anggota keluarga lainnya diinterogasi aparat.

Baca juga:

"Nenek saya diikat di batang kopi," ungkapnya. Singkat cerita, sang kakek akhirnya tertangkap dan dieksekusi di rumahnya. "Ditembak dulu lalu dipenggal [kepalanya]."

Tanpa kepala, jenazah kakeknya dibuang ke bawah jembatan. "Lalu, kepala kakek saya diarak di sekitar Takengon," ujar Budi dengan kalimat datar.

Arak-arakan itu kemudian berakhir di sebuah lapangan luas di pusat kota yang dipadati massa antikomunis.

"Ini semacam 'pesta' bahwa pimpinan PKI itu sudah mati," ungkapnya, mengutip cerita ibu dan ayahnya.

'Nenek saya alami gangguan mental, ibu saya memendam sendiri deritanya'

Sampai usia remaja, Budi tidak pernah mendapatkan informasi utuh tentang pembunuhan keji atas kakeknya. Juga apa yang melatari mengapa neneknya mengalami gangguan mental.

Orang tuanya selalu menutup rapat-rapat tragedi itu. "Mungkin mereka tidak berani, ditutupi, karena dulu stigma [PKI] kuat sekali," jelasnya.

Budi kemudian teringat, ketika masih bocah, dia pernah menanyakan ihwal kebenaran desas-desus 'arak-arakan menenteng kepala kakeknya' kepada orang tuanya, tapi dia tak mendapatkan jawaban memuaskan.

Rupanya, ibunya lebih memilih memendam ingatan pedihnya untuk dirinya sendiri.

Seiring pengetahuannya yang terus bertambah, Budi kemudian berusaha meyakinkan ibunya supaya mau bercerita.

"Tak usah lagi disembunyikan, ibu," kata Budi, mengulang lagi percakapan dengan ibunya.

Dia merasa yakin bahwa dengan berbagi cerita itu akan membantu meringankan beban masa lalu ibunya.

Baca juga:

Akhirnya,"dia mau cerita," kata Budi.

Menjelang kami wawancarai, Budi mengaku mengorek informasi terlebih dulu kepada ibu dan ayahnya — keduanya berusia 80an tahun — tentang tragedi itu.

"Semoga dengan kesaksian saya ini, membuat beban ibu saya berkurang," katanya.

_____________________________

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.

Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.

Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU