G30S, Thaib Adamy, dan Pembunuhan Massal 1965 di Aceh (3)
Bbc indonesia | 23 Januari 2022, 17:05 WIB
'Dia berpidato politik di ruangan sidang': Kesaksian bekas pengacara Thaib Adamy
Thaib Adamy pernah dipenjara dua tahun karena divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Sigli, Aceh, 1963, akibat tuduhan menghasut yang dianggap menimbulkan onar.
"Dia dihukum dua tahun karena dianggap terbukti menghasut rakyat untuk membenci pejabat negara," ungkap Syahriar Sandan, salah-seorang bekas pengacaranya, kepada BBC News Indonesia, akhir Oktober lalu.
Tuduhan itu berpangkal dari pidato Thaib pada Rapat Umum PKI, 3 Maret 1963, di gedung bioskop Beringin di Kota Sigli.
Dia kemudian ditangkap pada akhir Maret 1963 atas perintah Kolonel M Jasin, selaku Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Syahriar Sandan, kelahiran 1939, ditunjuk sebagai pengacara pengganti dalam perkara Thaib Adamy.
Dia menggantikan Sofyan SH, yang berhalangan lantaran harus operasi usus buntu.
"Usia saya saat itu 24 tahun, saya masih sarjana muda," ungkap Syahriar saat ditemui BBC News Indonesia di kediamannya di Kota Medan, Sumatera Utara.
Syahriar mulai mendampingi Thaib saat pembacaan pembelaannya di PN Sigli, Kamis, 12 September 1963, yang digelar di Kantor Kodim — belum jelas kenapa digelar di kantor militer itu.
Pledoi Thaib kemudian dimuat dalam buku 'Atjeh Mendakwa' yang diterbitkan Komite PKI Aceh, awal Januari 1964.
Dalam pembelaannya, "dia mengupas persoalan bagaimana keadaan suasana negeri kita pada waktu itu, baik di bidang ekonomi atau politik," ungkap Syahriar.
"Mirip pidato politik," tambahnya. Dalam buku setebal 127 halaman itu, Thaib menolak segala tuduhan menghasut seperti didakwakan tim jaksa.
"Peristiwa pengadilan ini pertarungan terbuka kekuatan Manipol melawan kaum Manipolis munafik," tulis Thaib.
Adapun tim pengacaranya, dalam pembelaannya, menyatakan tuduhan jaksa "tidak terbukti" karena "tidak ada kerusuhan yang ditimbulkan karena pidatonya," kata Syahriar.
Namun majelis hakim, rupanya, menyandarkan putusannya antara lain dari keterangan saksi memberatkan yang dihadirkan jaksa.
"Saksi itu menyatakan ada ejekan terhadap bupati, yaitu 'huuuh', saat dia lewat... Bupati dipermalukan," ungkap Syahriar.
Saat Thaib membacakan pledoinya, Syahriar masih ingat gaya kliennya berbicara. "Saya ingat gaya bahasanya, tidak berkobar-kobar. Menyenangkan," ungkapnya.
Dia juga tidak bisa melupakan persidangan hari itu dihadiri "banyak orang" di luar ruangan sidang. Mereka datang dari berbagai beberapa kota di pesisir timur Aceh, katanya.
Dalam buku Atjeh Mendakwa, disebutkan dihadiri massa pendukungnya yang mencapai 10.000 orang. Sidang juga digelar hingga sekitar lima jam.
"Saya ingat, ada teriakan dan tepuk tangan pendukungnya," ungkap Syahriar.
"Saya tidak tahu berapa yang hadir, karena saya di dalam ruangan sidang. Saya juga tidak menghitung berapa jam dia membacakan pembelaannya," tambahnya.
Seorang warga Kota Sigli, Teungku Jamil alias Jamil Rasyid, kini berusia 80 tahun, masih teringat seperti apa suasana sidang saat Thaib Adamy membacakan pembelaannya.
"Kita berada di luar [gedung peradilan]... banyak orang mendengar pembelaannya," kata Jamil. "Ada pendengar suara di luar."
Jamil dulu aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), yang berada di barisan antikomunis ketika pembantaian 1965 mulai terjadi di Aceh.
"Saya mendengar banyak orang agak simpati kepada pidatonya pada waktu itu," ujarnya saat ditemui BBC News Indonesia di rumahnya di kampung Blang Paseh, Sigli, akhir Oktober 2021 lalu.
"Orang kayak Thaib Adamy itu pintar berbicara. Rakyat agak simpati dengan pidatonya," akunya. "Orang-orang senang saat dia bicara."
Usai pembacaan vonis, Syahriar mengaku tidak pernah bertemu kembali dengan Thaib. Dua tahun kemudian, menjelang G30S, masa hukumannya berakhir.
"Apa yang terjadi pada dia [setelah dibebaskan], saya tidak tahu. Cuma banyak kabar tentang dia sesudah G30S, dia dibawa ke daerah Lhoknga atau daerah mana, dia dibunuh di situ," kata Syahriar.
'Thaib Adamy masuk PKI, dua saudaranya masuk PNI dan Masyumi' - kesaksian keluarga besar
Tragedi yang menimpa keluarga Thaib Adamy meninggalkan trauma, tak hanya anak-anaknya, tetapi juga keluarga besarnya.
Jarak waktu lebih dari 55 tahun dari peristiwa kekerasan itu, rupanya, belum membuat kadar trauma sebagian dari mereka menjadi berkurang.
Kenyataan seperti itu jelas terlihat ketika kami mengajak Setiady ke kampung halaman ayahnya di Idi Rayeuk, Aceh Timur, dan ke kota Medan, untuk bertemu sanak keluarganya.
Salah seorang adik perempuannya yang kami temui di Medan, sambil berlinang air mata, menolak untuk mengisahkan ulang kenyataan pahit yang dialaminya.
Dia mengaku masih mengalami trauma. Ada pula kekhawatiran terhadap sikap masyarakat yang akan melabelinya dengan stigma PKI jika identitasnya diungkap.
Kepada kami, dia hanya mau menjelaskan alasannya menolak diwawancarai.
"Saya tadi menangis, karena masih trauma. Jantung rasanya sakit. Saya takut terulang lagi [kejadian kekerasan itu]... Sudahlah, serahkan semuanya kepada Allah," ujarnya perlahan.
Ketakutan seperti ini juga terpancar dari keluarga besar Thaib Adamy yang kami temui di Kota Idi, Aceh Timur — kira-kira empat jam perjalanan darat dari kota Medan.
Kami menangkap kesan, mereka masih menaruh khawatir bahwa peristiwa kekerasan seperti itu terulang kembali. Inilah yang menjadi alasan keengganan keluarga Rohani, sepupu Thaib Adamy, untuk bersaksi.
Rohani, kelahiran 1942, adalah sepupu Thaib Adamy dari garis ibunya. Dia tinggal bersama salah-satu putrinya di salah-satu ruas jalan protokol di kota kecil itu. Di rumahnya tumbuh pohon mangga yang rindang.
Dia akhirnya bersedia diwawancarai, tapi sama-sekali tidak mau menyinggung latar belakang di balik peristiwa kekerasan 1965 yang menimpa keluarga besarnya.
Salah seorang putrinya mengaku khawatir jika peristiwa itu diungkit lagi akan berisiko terhadap keamanan keluarganya pada situasi sekarang atau nanti.
"Siapa yang bisa menjamin kejadian kekerasan itu tak terulang lagi?" ujarnya berulang-ulang.
Rohani kemudian lebih banyak bercerita sosok Thaib Adamy sebagai 'manusia biasa' dan bukan sebagai politikus PKI.
"Saya seperti adiknya sendiri, padahal kami sepupu," ungkapnya.
Dia lalu menyinggung sedikit tentang silsilah Adamy yang memang berasal dari Kota Idi. "Yang betul, nama awalnya itu Adam, lalu ditambah 'i' atau 'y' di belakangnya," ungkapnya.
Sebelum terjun ke politik, Thaib Adamy adalah seorang masinis kereta api. Dahulu kala, Kota Idi dilalui jalur kereta api yang menghubungkan Banda Aceh-Medan.
Dia lalu teringat, Thaib pernah singgah ke rumah keluarganya di Idi, ketika kereta api yang dikendarainya berhenti di Stasiun Idi.
Rumah Rohani relatif tidak begitu jauh dari stasiun. "Dia selalu bawa oleh-oleh ke kami, lalu dia berangkat lagi ke Medan," kisahnya.
Sebaliknya, di masa ketika masih remaja, Rohani dan keluarganya selalu singgah ke rumah Thaib Adamy di Banda Aceh. Mereka naik kereta api.
"Pak Thaib Adamy itu baik, suka menolong," ujarnya.
Tetapi setelah tragedi 1965, silaturahmi di antara keluarga besar Adamy sempat 'terganggu' sekian waktu.
Waktu dan jarak yang akhirnya membuat perjumpaan di antara mereka kembali merekah, walaupun mereka sebisa mungkin untuk menahan diri agar tidak menyinggung masalah politik.
"Kami memang sengaja tidak menyinggung politik dalam percakapan. Itu alasan kuat agar silaturahmi di antara keluarga Adamy terus terjaga sampai sekarang," Setiady kali ini yang berbicara.
Pilihan politik yang berbeda membuat keluarga besar Adamy sempat terpecah menjelang dan setelah G30S 1965. Namun hal ini tidak sampai memutus persaudaraan di antara mereka.
Wahab Ahmadi, kelahiran 1939, merupakan keluarga dekat Thaib Adamy. Kami menemuinya di kediamannya di Kota Medan akhir Oktober lalu.
Saat Wahab menjadi anggota TNI pada 1959, Thaib Adamy sudah menjadi politikus PKI yang terkenal di Aceh. Perbedaan latar belakang ini tidak membuat hubungan mereka terganggu.
"Saat saya sekolah [militer], saya sering ke rumahnya. Saat ada acara keluarga, saya juga tidak pernah tidak hadir," aku Wahab.
Dia lalu bercerita bahwa pilihan politik keluarga Adamy tidaklah tunggal.
"Thaib Adamy masuk PKI, Osman Adamy, dan Abubakar Adamy masing-masing masuk PNI dan Masyumi," ungkapnya, memberikan contoh.
Memang hubungan silaturahmi tidak selalu harmonis, utamanya ketika berbenturan dengan isu politik, seperti ketika terjadi peristiwa kekerasan 1965.
Namun mereka kemudian berangsur-angsur bisa sampai pada satu titik bahwa hidup tak melulu persoalan politik semata. Ada hal lain yang lebih penting, yaitu ikatan keluarga.
"Buktinya, kami tetap bisa berhubungan baik," ungkap Wahab, yang kemudian dibenarkan Setiady.
Wahab lantas mencontohkan, ketika istri Thaib Adamy ditangkap dan ditahan di Medan, karena gara-gara dikaitkan dengan G30S 1965, dia beberapa kali mengunjunginya di rumah tahanan.
Padahal, saat itu Wahab berada dalam barisan apa yang disebutnya bertujuan "menumpas G30S PKI". Dia bergabung dalam organisasi MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong).
"Ya, namanya keluarga dekat. Soal pilihan politik, ya itu politik. Tapi kita kan keluarga. Ini lebih atas dasar kemanusiaan dan kekeluargaan," kata Wahab, mencoba mengingat lagi pilihannya untuk mengunjungi istri Thaib Adamy.
Kembali lagi ke Kota Idi. Di salah-satu sudutnya, tidak jauh dari bekas bangunan stasiun kereta api Idi, kami menemui dua bersaudara, Ratnawati dan Mariana, di tempat berbeda.
Keduanya masing-masing kelahiran 1949 dan 1953. Ayah tiri Ratna dan Mariana merupakan sepupu Thaib Adamy.
Seperti Thaib Adamy, ayah tiri mereka — Abdullah alias AGT — juga menjadi korban kekerasan pascaG30S 1965. Jenazahnya sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Saat kami berkunjung ke rumahnya, Ratna dan Setiady beberapa kali berlinang air mata ketika mengingat lagi apa yang mereka rasakan ketika ayah mereka dieksekusi.
"Alhamdulillah kami selamat, walaupun orang tua kami tidak selamat. Kami masih dilindungi," ungkap Ratna. Pada masa itu, Ratna dan Ady masih anak-anak.
Dari kacamata sekarang, Ratna mencoba mengingat lagi sosok Thaib Adamy, yang disebutnya "tidak pernah curang" dan "baik".
"Orangnya gagah, tinggi besar, rambut ikal dan pandai ngomong," Ratna mencoba menggambarkan fisik Thaib Adamy.
Itulah secuplik ingatan Ratna tentang sosok Thaib Adamy. Siang itu dia lebih banyak mengingat ketika dia dan Setiady masih bocah tidak lama setelah peristiwa G30S.
Kala itu, mereka tinggal bersama di rumah keluarga besar — disebut 'rumah panggung' — di dekat rel kereta api di Kota Idi.
Dalam kondisi menderita lantaran orang tua mereka 'hilang', Ratna dan Setiady teringat ketika mereka nyaris setiap hari mencabuti ubi jalar di halaman rumah itu untuk dikonsumsi — karena tidak ada makanan lain yang dapat dimakan.
"Kita anak-anaknya, kena imbas," kata Ratna, lirih. Lalu Setiady menimpali juga dengan nada perlahan: "Syukurlah, kita masih diberi perlindungan, kita selamat."
Di akhir perjalanan, kami mengunjungi 'rumah panggung' — tidak ada yang berubah, kecuali tangga kayu diganti beton dan rel kereta api yang melintas di depan rumah itu tidak lagi berwujud.
Di dalam rumah itulah, 56 tahun silam, ayah tiri Ratna dan Mariana diciduk, ditahan dan dieksekusi. Mariana, kelahiran 1949, berada di dalam rumah itu ketika tragedi itu terjadi.
Dan siang itu, Mariana bercakap-cakap dengan kami di ruangan yang sama. Masa lalu nan gelap itu seperti hadir kembali ketika Mariana ingat detil-detil ketika ayahnya 'diangkut'.
(Kisah lengkap tragedi yang menimpa keluarga Mariana dan Ratna, baca di seri kedua 'Kekerasan 1965 di Aceh': 'Saya masih simpan parang untuk potong leher' — Kesaksian 'Algojo 1965' di Aceh)
Dalam ingatan anak sulung dari lima bersaudara ini, Thaib Adamy adalah sosok yang "suka bergaul, pandai, dan suka menolong."
Saat mengunjungi rumah panggung, kami ditemani salah-seorang anak Ratnawati. Namanya Bulqiah, kelahiran 1984.
Dia mengaku pernah mendengar "sama-samar" kisah pahit yang dialami kakeknya dan Thaib Adamy. Cerita ini dia dengar dari ibu dan neneknya.
"Kalau dibilang emosional, iya, karena kami satu keturunan, mungkin kita menyayangkan kejadian seperti itu," katanya.
Bulqiah lalu mencoba menganalisa, seolah-olah menempatkan sebagai pengamat yang berjarak: "Mungkin dulu hukumnya seperti apa... Kalau sekarang kita sudah demokratis. Serba terbuka. Dulu serba tertutup. Kalau dulu sudah demokratis, tidak akan terjadi seperti itu."
Ketika saya tanya, bagaimana cara pandangnya dalam melihat tragedi kekerasan 1965 di Aceh, Bulqiah mengaku mendapat informasi seputar dari pelajaran sekolah di masa SD sampai SMA.
"Kebenaran [terkait peristiwa 1965], ya kebenaran yang kami dapat seperti yang kami pelajari di sekolah," ujar Bulqiah yang lulusan SMA.
Dia kemudian berujar dirinya "sudah terlalu jauh" dengan peristiwa 1965 dibanding, misalnya, konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah 1998.
Jika nantinya dia tertarik untuk mempelajari tragedi 1965 di Aceh, yang mengakibatkan kakeknya menjadi korban, Bulqiah akan menempatkannya sebagai sebuah peristiwa sejarah semata.
"Harus saya pelajari lagi," ujarnya. Jarak waktu puluhan tahun agaknya membuat Bulqiah tidak merasakan langsung trauma seperti yang dialami ibunya atau keluarga besar Adamy lainnya.
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Wartawan Sinarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan ini di kota Sigli, Aceh.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC