Masalah Kesehatan Intai Suku Baduy Dalam: Kaki Membusuk, Tak Ada Bidan (1)
Bbc indonesia | 22 Januari 2022, 19:54 WIBSeorang bocah Baduy Dalam mengalami patah tulang selama dua tahun hingga tulang tungkainya membusuk. Relawan dan dokter menyelamatkan gadis cilik itu dari kehilangan kaki, juga nyawanya. Pakar kesehatan masyarakat menilai negara telah gagal memenuhi hak dasar kesehatan warganya.
Hari masih terbilang pagi, tapi Juli telah selesai bersiap untuk berangkat dari rumahnya.
Laki-laki berusia 36 tahun itu berjalan bergegas sambil menggendong Atirah, putri keduanya yang berusia enam tahun. Istri Juli, Pulung, mengikuti langkah kakinya di belakang.
Keluarga suku Baduy Dalam ini menuju Klinik Saung Sehat di Kampung Binong Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojong Manik, Kabupaten Lebak, Banten.
Di klinik tersebut, Atirah bakal menjalani operasi kaki, Jumat (17/12/21). Operasi dijadwalkan pukul 14.00 WIB, tapi seperti warga Baduy Dalam lainnya yang tidak pernah berpatokan pada jam sebagai alat penanda waktu, keluarga itu berangkat sepagi mungkin.
Rumah mereka di Kawasan Baduy Dalam, Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar jaraknya empat kilometer dari klinik. Jika berjalan kaki dengan cepat, mereka bisa sampai di sana dalam satu jam.
Ini satu-satunya cara orang Baduy Dalam bepergian, karena naik kendaraan jadi pantangan.
Juli, Pulung, dan Atirah menghabiskan perjalanan itu dalam diam. Beruntung, cuaca pagi itu cukup cerah. Jalan tanah merah berkontur naik turun itu bisa mereka lalui dengan mudah, tak selicin bila turun hujan.
Perasaan pria itu campur aduk, mengingat operasi yang akan dijalani putrinya ini adalah yang pertama kalinya akan dilakukan oleh warga Baduy Dalam.
Ada rasa tegang, juga waswas. Tapi terselip juga harapan akan kesembuhan anak bungsunya.
Baca juga:
- Dilema wisata Baduy: Ekonomi bertambah tapi picu masalah sampah plastik
- Belajar toleransi dari penganut Sunda Wiwitan dan umat Muslim di Kampung Adat Cireundeu
Infeksi hingga membusuk
Suku Baduy Dalam masih memegang kuat adat istiadat yang diwariskan leluhurnya, termasuk menjalankan sejumlah larangan yang tujuannya menjaga kelestarian alam.
Beberapa aturan yang mereka anut hingga kini antara lain tidak menggunakan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, tidak memakai alas kaki, dan tidak menggunakan alat elektronik atau peralatan modern lain.
Karena itu pula, ketika Atirah mengalami patah tulang akibat terjatuh saat usianya empat tahun, ia tidak dibawa ke dokter.
Juli, sesuai kebiasaan warga Baduy Dalam, mengobati Atirah dengan mendatangkan tukang urut patah tulang. Selama dua tahun Atirah sakit dan tak bisa berjalan, Juli telah mendatangkan setidaknya sepuluh tukang urut.
"Saya bilang, bagaimana ini anak saya, sudah banyak yang pegang tapi tidak ada perubahan," kata Juli.
Tak satu pun tukang urut itu yang bisa menyembuhkan Atirah. Luka di kakinya malah mengalami infeksi sampai membusuk.
Tukang urut terakhir, setelah lima bulan mengurut tanpa hasil, menyerah dan menyarankan gadis itu dibawa ke dokter.
"Ini bukan tulangnya yang rompak [patah], mungkin ada urat yang putus, ada infeksi di dalamnya. Harus dioperasi oleh dokter," tutur Juli menirukan saran si tukang urut.
Namun jangankan dioperasi, membawa Atirah ke dokter saja bukan perkara gampang bagi Juli. Rumah sakit terdekat berada di Rangkas Bitung, yang jaraknya 54 kilometer. Bila berjalan kaki, bisa makan waktu sehari semalam.
Mengendarai mobil atau motor bukan pilihan, karena akan berbuah hukuman adat.
Juli pun menghadapi dilema. Keselamatan anaknya adalah prioritas utama, tapi memegang teguh adat istiadat yang telah ditetapkan secara turun temurun juga merupakan kewajibannya.
"Kalau dibawa ke [rumah sakit di] Rangkas Bitung atau Serang [dengan mobil], ada pertentangan dengan adat. Kalau bisa, dokter ke Binong [lokasi Klinik Saung Sehat], mungkin ada pertimbangan. Namanya kita berusaha untuk anak, daripada tidak bisa berjalan," ungkap Juli.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : BBC