> >

Mencari Kritik di Ujung Demokrasi

Advertorial | 26 November 2021, 12:56 WIB
Ilustrasi mencari kritik di ujung demokrasi. (Sumber: Dok. Marygops)

"Jika kritik dimaknai sebagai bagian demokrasi, maka tidak boleh mengabaikan elemen-lemen yang mendasarinya. Sebut saja di antaranya kepatuhan hukum, etika, dan estetika demi menjaga ketertiban sosial," kata Deputi IV Bidang Informasi dan Komunikasi Politik Juri Ardiantoro di laman situs daring KSP.

Juri meyakini, mural-mural yang sengaja ditebarkan adalah cermin dari perbuatan yang justru keluar dari ketiga unsur tersebut karena menganggu ketertiban sosial dan kepatuhan hukum, minim nilai-nilai etika dan estetika.

"Silakan saja mengungkapkan dan berekspresi untuk membangun demokrasi yang penuh keadaban dan optimisme kita sebagai bangsa," imbuhnya.

Kritik Sosial

Mural adalah kritik sosial yang muncul sebagai ekspresi akibat aspirasi rakyat tersumbat.

Kehebohan kritik sosial terjadi karena tidak tersedia cukup ruang publik untuk berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan, khususnya di masa pandemi.

Dalam seni mural yang tampil bermuatan politik, yang perlu dikedepankan adalah etika budaya dan batasan yang perlu dipahami bersama.

"Memang terjadi perdebatan, apakah mural kritik ini boleh atau tidak boleh. Mural bermuatan politik bagi saya ini bagian dari dialog, jangan-jangan karena kita jarang dialog," kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (27/8/2021).

Selain itu, terdapat banyak batas antara etika dan budaya sehingga di suatu wilayah, mural dianggap sebagai kotoran yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Yang diperlukan adalah kesepakatan antara kearifan lokal dengan kepentingan umum. Sebagai contoh hasilnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

Dalam pasal 19 Perda Pasuruan 2/2017 ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melukis di dinding atau tembok yang merupakan sarana umum.

Penataan media luar ruang biasanya diatur dalam peraturan daerah atau peraturan kepala daerah, dengan maksud agar tidak merusak keindahan wilayah.

Apalagi, ada pula sisi komersial, di mana penataan memang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Mural sebaiknya dibuat di lokasi yang tidak mengganggu kepentingan bersama.

Kritik Bukan Fitnah

Kritik akan selalu hadir selama demokrasi masih dijunjung tinggi oleh semua pihak.

Pemerintah menganggap mural yang kritis sebagai bentuk perhatian dan masukan untuk terus mengintrospeksi diri dan melakukan perbaikan.

Muatan politik yang hadir di dalamnya hendaknya tidak menjadi fitnah yang memecah belah masyarakat.

Presiden Jokowi, sebagai kepala negara dan kepala pemerintah, mengucapkan terima kasih kepada warga negara atas partisipasi aktif dalam membangun budaya demokrasi.

“Terima kasih untuk seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif, dan terus ikut membangun budaya demokrasi,” tandas Jokowi dalam pidatonya.

Pemerintah menganggap mural yang kritis sebagai bentuk perhatian dan masukan untuk terus mengintrospeksi diri dan melakukan perbaikan. Namun pesan yang disampaikan hendaknya tidak menjadi sebuah fitnah yang memecah belah persatuan dan kesatuan serta menyerang pribadi secara intoleran.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : Kompas TV


TERBARU