Jakarta Geopolitical Forum V: Kemanusiaan di Simpang Budaya dan Peradaban
Advertorial | 22 Oktober 2021, 12:03 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak signifikan terhadap masa depan peradaban manusia.
Tantangan global seperti pandemi, perselisihan politik, perubahan iklim, kelangkaan sumber daya alam, dan kesenjangan sosial, telah menyebabkan retaknya nilai-nilai kemanusiaan dan menjadikan masa depan peradaban Indonesia menjadi kabur.
Hal ini disebutkan oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo saat membuka diskusi “The 5th Jakarta Geopolitical Forum” yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21-22 Oktober 2021.
“Ini memunculkan peristiwa seperti rasisme, xenofobia, supremasi agama atas teknologi, dan ambiguitas ideologi agama yang mempermasalahkan nilai demokrasi,” kata Agus dalam sambutannya, Kamis (21/10/2021).
Ia menyebutkan, kompleksitas struktural dalam budaya dan peradaban postmodern telah membawa masyarakat ke titik balik kritis dan memunculkan serangkaian konsekuensi.
“Peradaban global saat ini berkembang untuk menentukan identitasnya, dan dengan cepat mencapai titik kritis penting yang akan memutuskan apakah itu akan mengarah pada peradaban yang bersatu atau terpecah,” ujarnya.
Kehadiran Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu penanda dimulainya Masyarakat 5.0. Menurut Komut PT Telkom Indonesia, Bambang Brodjonegoro, Masyarakat 5.0 akan mendorong bentuk-bentuk yang lebih maju dari teknologi untuk membantu, menyederhanakan, dan meningkatkan kehidupan manusia sehari-hari.
Di sisi lain, kemajuan teknologi yang semakin pesat dapat membuat segmentasi dan jurang sosial semakin besar.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR: Kaum Santri Harus Bisa Menjawab Tantangan Zaman Melek Teknologi
Munculnya pernyataan Jepang yang mengatakan siap menuju Masyarakat 5.0 memunculkan pertanyaan, apakah Indonesia akan siap untuk transisi ini atau tidak.
Rudy Breighton dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston menuturkan, ada kalanya kecerdasan buatan manusia melampaui manusia itu sendiri.
“Komputer saat ini memiliki 10 atau lebih transistor per CPU, waktu siklus sekitar 1 nanodetik. Lightspeed hanya bergerak 30cm dalam jangka waktu tersebut, yang mana telah melampaui otak kita,” terangnya.
Globalisasi dan kemajuan teknologi tanpa disadari, dapat mengikis nilai-nilai budaya bangsa. Mengelola budaya nasional menjadi prasyarat untuk mendukung identitas nasional, serta menjadi kekuatan untuk mencegah ancaman-ancaman terhadap peradaban asli bangsa tersebut.
Kendati demikian, Rudy juga menekankan bahwa kendali pada teknologi berada di tangan manusia.
Ia mengatakan, “AI hanya bisa bekerja sebaik orang yang memprogramnya. Jika mereka diprogram untuk membantu manusia maka mereka akan melakukannya, jika mereka diprogram untuk memusnahkan dunia? Mereka akan melakukannya.”
Menanggapi hal tersebut, Agus menambahkan bahwa teknologi tidak bisa dipandang sebagai peradaban manusia, melainkan sebagai alat untuk membantu.
“Teknologi tidak bisa dianggap sebagai peradaban, melainkan sebagai alat yang membantu umat manusia dalam perkembangannya. Kemajuan teknologi yang tidak dikelola dengan baik dapat merugikan peradaban,” imbuhnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Dr. Robertus Robert menyetujui bahwa teknologi dan sains dapat berfungsi sesuai tujuan manusia.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV