Mekanisme Co-firing Biomassa PLTU Jeranjang Gairahkan Ekonomi Warga
Advertorial | 22 Oktober 2021, 09:11 WIBBaca Juga: PLTP Lebih Ramah Lingkungan, Tapi Terkendala Perekonomian
Selain di lokasi pengolahan, penggunaan biomassa serbuk kayu juga berimbas pada warga di sekitar lokasi penampungan sementara. Menurut Barwan, saat ini ia mempekerjakan 16 warga di sana.
Barwan mengatakan, selain upah harian masing-masing Rp 120.000, para pekerja mendapat tambahan dari pekerjaan borongan. Misalnya, ia mengeluarkan Rp 500.000 per truk untuk enam orang saat bongkar muat.
”Kegiatan ini memang berdampak secara ekonomi. Tidak hanya untuk saya, tetapi juga bagi warga yang terlibat,” terangnya.
Pengolahan sampah
Selain penggunaan biomassa serbuk kayu, bahan lain yang digunakan adalah sampah. Karena itu, para petugas pengolahan biomassa sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok juga merasakan dampak ekonomi.
TPA Kebon Kongok yang berlokasi di Desa Suka Makmur, Lombok Barat, saat ini menjadi lokasi pengolahan sampah yang juga menjadi bahan co-firing biomassa PLTU Jeranjang.
Kegiatan itu merupakan sinergi antara PT Indonesia Power, PLN Unit Induk Wilayah NTB, dan Pemerintah Provinsi NTB.
Kerja sama tersebut terkait penelitian dan pengembangan pengelolaan sampah sebagai energi pelet refuse derived fuel (RDF).
PT Indonesia Power menyediakan peralatan dan pendampingan, sementara untuk lahan, tempat, dan petugas dari Pemprov NTB.
Baca Juga: Siapkan Biomassa untuk PLTU, PLN Kembangkan Hutan Energi dengan Undana
Salman, koordinator Kelompok Jeranjang Olah Sampah Setempat (JOSS) yang melaksanakan kegiatan di TPA Kebon Kongok, merupakan salah satu dari empat petugas yang setiap hari mengolah biomassa sampah.
Setiap hari, mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 memproduksi 200-600 kg biomassa sampah untuk PLTU Jeranjang. Produksi mereka dikirim ke PLTU Jeranjang sebanyak 5 ton per bulan.
Salman menuturkan, kegiatan tersebut memberikan manfaat baginya dan juga tiga petugas lain yang seluruhnya berasal dari Lombok Barat. Selain mendapat ilmu pengolahan sampah, juga honor bulanan yang mencapai Rp 2,5 juta.
”Dulu, kami bekerja serabutan. Sekarang kami fokus di sini. Selain mendapat ilmu, juga ada pemasukan bulanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ungkap Salman.
Dibandingkan serbuk kayu, produksi biomassa sampah memang masih rendah untuk saat ini. Namun, dari sisi nilai kalor bisa mencapai 3.700 kilokalori per kilogram (kkal/kg).
Menurut Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto, nilai itu sudah mendekati nilai kalor batubara yang berkisar 4.000-4.200 kkal/kg.
Salman menilai, keberlanjutan bahan baku biomassa sampah perlu terus didorong. Dalam waktu dekat, Pemprov NTB bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan mengoperasikan alat produksi biomassa sampah dengan kapasitas 120 ton per hari.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV