> >

#SAVEKPK - Opini Budiman Eps. 14

Berita kompas tv | 4 Juli 2020, 06:00 WIB

Oleh: Budiman Tanuredjo

KOMPASTV - Ada apa dengan KPK ? itulah pertanyaan publik. Operasi tangkap tangan hampir tak terdengar lagi ceritanya? yang muncul ke permukaan justru berita bernada negatif seperti kepulangan Pimpinan KPK Firli Bahuri ke kampung halaman menggunakan helikopter.

Tindakan itu disorot publik, Firli dilaporkan ke Dewan Pengawas.

Tidak pantas, ada apa dengan KPK anak nakal reformasi yang kini telah berubah menjadi anak manis.

Survei terakhir yang dirilis tingkat kepercayaan publik pada KPK merosot drastis.

KPK pun berada di titik nadir, survei terbaru 22 juni 2020 menunjukkan hanya 44,6 responden memandang citra KPK baik.

Kenapa semua itu terjadi?

Pertama, revisi UU KPK membuat KPK mengubah strategi pemberantasan korupsi. KPK berubah menjadi konsultan pencegahan korupsi (KPK). pimpinan KPK beranjang sana ke berbagai lembaga dan mengajak pimpinan daerah untuk tidak korupsi.

Perubahan strategi itu memang yang diinginkan elite politik di negeri ini. Elite negeri memang kelelahan memberantas korupsi. Agresivitas KPK orisinil (sebelum UU KPK direvisi) dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi.

Apakah strategi itu akan berhasil?

Saya mengutip sejarah pelacakan korupsi di Indonesia. Penulis Dukuh Imam Widodo dalam artikel Soerabaja Tempi Doloe menulis pada 15 april 1805. Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa mengakui dia menjadi kaya karena menerima upeti dari anak buahnya yang ingin naik jabatan. Artinya apa? untuk naik jabatan ya nyogok dan beri upeti.

Itu tahun 1805 atau 215 tahun lalu. Sekarang bagaimana ? tidak berubah, mau jadi Kanwil nyogok, mau jadi anggota DPR melobi anggota KPU dan membayar, mau dapat proyek bayar uang semir.

Kalau nggak percaya, tengoklah ke LP Sukamiskin di Bandung atau LP lain, itu museum koruptor di Indonesia. artinya apa? Jangan harap memberantas korupsi hanya dengan memberi nasihat. Bersumpah di bawah kitab suci saja dilanggar apalagi cuma nasihat pimpinan KPK yang kepercayaannya diragukan.

Kini elite politik ribut soal strategi berantas korupsi. Ke depankan aspek pencegahan? perlu OTT? hukum dengan keras, miskinkan, cabut hak politik. Kegaduhan strategi itu sebenarnya gak perlu.

Tajuk rencana Kompas, 14 september 1965 barangkali bisa dibaca ulang. Masih relevan, judulnya ”Pentjolengan Ekonomi”.

Kompas menulis demikian,”soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. jang ditunggu rakjat sekarang bukanlah pembitjaraan lagi tapi tindakan konktrit: tangkap mereka, periksa, adilli, hukum, gantung, tembak!"

Artinya apa, korupsi jangan terus dipidatokan, jangan terus dikotbahi tapi harus ada eksekusi yang nyata konkret.

Gantung ya nggak juga karena melanggar HAM.

Tapi pemiskinan koruptor dengan merampas semua aset dan pencabutan hak politik adalah langkah yang bisa ditawarkan.

Presiden sendiri bicara keras, gigit keras orang yang merniat mengorupsi dana bansos 670 triliun, Tapi apakah KPK mampu ? mampu kalau mau. masalah adalah kemauan dan dukungan politik riil?

Lalu apa yang harus dikerjakan..

Masyarakat sipil harus mendorong menyelamatkan KPK dari kemandulan.Pertama, Dewas Pengawas harus menuntaskan dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK. Umumkan kepada publik apa temuan Dewas KPK, mudah-mudahan hasilnya bisa membuat KPK Reborn.

Tuntaskan kasus bekas Sekjen MA Nurhadi setransparan mungkin, siapapun yang terlibat harus dihukum jangan ada yang ditutupi termasuk menangkap buronan Harun Masiku yang lenyap.

Para Wakil Pimpinan KPK harus tampil ke publik untuk menjelaskan gagasannya soal pemberantasan korupsi jangan hanya pada ketua KPK yang nada sentimennya negatif jangan hanya membela korps karena bian kian meruntuhkan kepercayaan publik pada KPK.

Saatnya Dewan pengawas berperan menyelamatkan KPK. Disana ada Artidjo Alkostar, Hakim Agung killer yang ditakuti para koruptor.

Sebagai hakim yang berani, Artidjo harus muncul berbuat sesuatu menyelamatkan KPK.

Penulis : Theo-Reza

Sumber : Kompas TV


TERBARU