Perayaan Kemerdekaan Amerika Serikat: Presiden Trump dan Rasisme
Opini | 5 Juli 2020, 01:16 WIB
Oleh: Irwan Firdaus, Alumni Sejarah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Wartawan Associated Press 1997-2011
Hari ini, 4 Juli 2020 Bangsa Amerika Serikat merayakan kemerdekaan negaranya. 244 tahun sudah Bangsa Amerika merdeka. Dua abad lebih kemerdekaan suatu bangsa adalah satu capaian besar. Dengan semua capaiannya, Amerika adalah sebuah negeri yang menjadi salah satu pusat perhatian dunia internasional. Hingga kini negeri besar itu, tetap bertahan bersama semua masalahnya.
Hari yang bersejarah bagi bangsa Amerika dan negara AS ini, dimulai saat 244 tahun silam, diproklamirkan sebagai hari Kemerdekaan Amerika Serikat atau (Independence Day-Fourth of July). Amerika terbebas dari penjajahan kolonialisme Inggris. 4 Juli 1776 Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani oleh Thomas Jefferson. Peristiwa itu dirayakan sebagai sebagai Hari Kemerdekaan Negara dan Bangsa Amerika Serikat.
Jutaan warga Amerika tentunya merayakan hari besar ini. 244 tahun sudah Amerika merayakan kemerdekaannya. Ada banyak hal besar yang sedang dialami bangsa Amerika saat ini. Salah satunya, saat merayakan hari kemerdekaan ini bangsa Amerika seperti dialami lebih dari 200 negara juga sedang menghadapi wabah virus Corona atau Covid-19. Dibawah kepemimpinan Presiden Donald Trump saat ini, lebih dari dua setengah juta penduduk Amerika dinyatakan positif terinfeksi virus corona, 129 ribu orang lebih meninggal akibat Covid-19.
Hal penting lain yang sedang dihadapi warga Amerika Serikat adalah Pemilihan Presiden pada November mendatang. Gelaran demokrasi setiap empat tahunan di Amerika Serikat. Saat ini, Amerika di bawah Presiden Trump menjadi sorotan dan perhatian utama saat pandemi corona. Saat yang sama saat ini warga Amerika juga bersiap menuju Pemilu di Amerika Serikat. Dan tentu saja juga terdengar dan kita dapat menonton langsung dan siaran ulang melalui media sosial seperti Youtube peran dan ucapan sang Presiden Amerika Serikat ini.
Kemeriahan perayaan hari kemerdekaan Amerika ini turut pula disertai dengan ucapan dan polah Presiden AS Donald Trump. Mesin besar media menjadi corongnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian besar di Amerika sendiri dan di dunia pada umumnya. Setiap ucapan sang presiden tentunya merupakan headline media dunia.
Salah satu fokus kita, tentu saja pada peran dan ucapan Presiden Donald Trump terkait peran dan kepemimpinan sebagai kepala negara AS ke 45 dalam situasi pandemi virus corona saat ini, dan upayanya berhadapan menuju Pilpres AS November mendatang dalam upaya meraih jabatan sebagai Presiden AS sebagai incumbent.
Ucapan Presiden Donald Trump di hadapan ribuan para pendukungnya dalam kampanye Pilpres pada 21 Juni 2020 silam menyebut virus Corona sebagai “Kung Flu” adalah ungkapan rasis sebagai wujud prasangka etnik dan atau ras yang masih terus hidup sebagai peninggalan kolonial dan akibat segregasi sosial yang pernah diterapkan di Amerika di masa lalu. Bahkan hingga tahun 1950-60an lalu. Walaupun telah merdeka 244 tahun, sebagai bangsa dan negara, Amerika Serikat masih memiliki persoalan laten yang juga banyak dialami bangsa lain. Persoalan laten bangsa atau warga Amerika Serikat yang juga terus dihadapi adalah masalah rasisme atau rasialisme atau prasangka etnik (ethnic prejudice) sebagai peninggalan warisan kolonialisme.
Seperti juga peninggalan kolonialisme di negeri manapun, rasisme adalah luka peninggalan kolonial yang terus berlanjut. Di Amerika, warisan kolonial Inggris yang terus menjadi masalah hingga kini adalah prasangka etnik. Ini masih terus berlanjut hingga sekarang. Utamanya tentang hubungan antar ras di sana yaitu warga kulit putih, berwarna seperti Asia, warga Amerika hasil hubungan integrasi campuran antar ras kulit putih Spanyol dan penduduk awal Amerika, serta warga Amerika keturunan Afrika (African American).
Prasangka rasial itu kini berwujud tidak hanya persoalan bagi warga Amerika keturunan Afrika, tetapi juga berdampak kepada warga Amerika kulit berwarna seperti warga Amerika Tionghoa (Chinese American), warga Amerika keturunan Amerika Spanyol (Spanish American) dan warga kulit berwarna lainya seperti warga amerika keturunan Arab (Arab American) dari penjuru dunia yang kemudian diangkat dan resmi menjadi warga Amerika. Kita memahami bahwa bangsa Amerika adalah kumpulan banyak bangsa dunia yang bersepakat mendirikan negara yang dipelopori kaum migran dan imigran dari berbagai benua dan penjuru dunia. Memang pelopornya adalah bangsa Inggris sebagai kekuatan kolonial dan imperialis besar lebih dari 250 tahun silam.
Sebelumnya, Trump kepada publik Amerika menyebut Covid-19 dengan kata ‘flu wuhan’ , flu cina, atau ‘flu tiongkok’. Jelas itu adalah ungkapan rasis dan tentu saja Trump menolak itu sebagai ungkapan rasis. Trump berkilah menyebut corona dengan kata-kata itu hanya sebagai upaya membuat itu “akurat” Dan penyebutan ‘kung flu,’ china flu’ wuhan flu’ -- tempat asal virus ini berkembang oleh Presiden Trump dalam pernyataan kepada media dan dalam kampanye Pilpres-nya terus berlanjut dalam kampanye-kampanye Presiden Trump. Dari satu kota ke kota lainnya, di hadapan ribuan warga dan anak muda sebagai terminologi merendahkan dan rasis ini masih terus disebut oleh Trump untuk menggaet suara pemilih dalam Pilpres di Amerika.
Gelaran kampanye ini masih terus berlanjut hari ini hingga hari pemilihan di bulan November nanti. Walau telah diingatkan oleh kelompok sipil dan para politisi Amerika bahwa ungkapan Presiden Trump yang rasis sebagai merendahkan dan berpotensi merusak hubungan antar ras di Amerika khususnya perilaku sosial terhadap warga Amerika keturunan Asia dan Tiongkok.
Kematian warga kulit hitam George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu oleh polisi kulit putih dapat ditelisik sebagai wujud buruknya hubungan antar ras di Amerika. Menurut statistik persentase warga Amerika keturunan Afrika lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan ketimbang warga kulit putih. Wujudnya bias dalam perlakuan rasisme seperti termasuk kebrutalan oknum polisi Amerika. Disebut oknum dalam terminologi media kita karena tidak semua polisi Amerika bertindak dan berprasangka rasis terhadap warga kulit hitam.
Prasangka rasisme, rasialisme dan prasangka etnik adalah warisan kolonialisme yang masih terus eksis saat ini. Termasuk dalam ucapan-capan Presiden Trump. Presiden AS sebelum Trump, Barack Obama merasa kesal dan marah dengan pernyataan-pernyataan Trump yang sangat rasis. Menurut Obama dan juga banyak politisi, para pejuang hak-hak sipil serta sebagian warga para pemilih di Amerika ucapan merendahkan seperti itu tidak selayaknya diucapkan oleh seorang Presiden Amerika.
Prasangka ras di Amerika ini tentu saja adalah bagian dari warisan kolonialisme dahulu. Rasisme adalah tubuh dalam sistem kolonialisme dan imperialisme. Peninggalan itu terus ada dalam wujud prasangka rasial. Upaya menghapuskan memang harus menjadi agenda utama di Amerika. Seperti begitu pula upaya menghapuskan prasangka rasial dan rasisme di berbagai belahan dunia. Termasuk kita di Indonesia. Peninggalan kolonialisme di Amerika seperti lembaga perbudakan memang sudah hilang. Namun, prasangka ras secara sadar dan tidak turut pula diucapkan dan diselipkan oleh President Donald Trump dalam ujaran dan pidato-pidato kampanye presidennya.
Rasisme sebagai peninggalan kolonialis dan imperialis ini memang sengaja secara sistematis digunakan dahulu tentunya oleh para kolonialis dan imperialis. Kaum kolonial dan imperialis menggunakan dan mengembangkan prasangka ras dalam menjalankan kekuasaannya. Artinya, negara kolonial dahulu sudah pasti rasis. Namun yang rasis belum tentu kolonial. Karena pengalaman sejarah membuktikan rasisme masih hidup dalam peradaban modern saat ini.
Mengapa sekarang masih ada di Amerika walau sudah merdeka 244 tahun? Itu bisa eksis adalah karena prasangka dan upaya merendahkan itu sebagai warisan segregasi rasial di Amerika di waktu lalu. Ia masih terus membekas pada sebagian kecil orang di Amerika. Itu bisa berwujud dalam bentuk solidaritas supremasi kulit putih seperti Ku Klux Klan pada tahun 1950-60an. Sesungguhnya juga, begitu banyak orang kulit putih tidak menyukai dan memiliki prinsip persamaan hak antara sesama warga Amerika. Hal ini yang disebut sebagai masalah laten hubungan antar ras di Amerika. Itulah latar yang menjadi akar persoalan rasisme di Amerika.
Pengalaman kebijakan politik berupa pemisahan atau segregasi rasial dan pengalaman penerapan lembaga perbudakan di Amerika itu masih membekas. Padahal lembaga perbudakan telah dihapuskan oleh Presiden Abraham Lincoln. 1 Januari 1863 Presiden Lincoln secara resmi mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi anti-perbudakan. Hampir seratus tahun setelah kemerdekaan, lembaga perbudakan di Amerika diakhiri Presiden Lincoln. Namun prasangka rasial terhadap warga kulit hitam Amerika masih terus ada hingga hari ini, 244 tahun setelah kemerdekaan Amerika. Dan hal yang tak pantas berupa ujaran prasangka rasial itu, turut pula dilakukan secara sadar oleh seorang Presiden Amerika Serikat saat ini, demi meraih kemenangan dalam pemilihan presiden.
Dalam beberapa pengalaman negara dan cerita bangsa, memang prasangka ras, rasialisme, etnik dan kadang agama digunakan para politisi sebagai alat dan metode meraih kemenangan politik. Hal buruk atau yang tak mempertimbangkan akibat buruk penggunaan prasangka itu oleh para politisi, termasuk saat ini dilakukan secara sadar dan sistimatis oleh president Trump dalam kampanye Pilpresnya. Hal ini salah satunya untuk mengecilkan peran yang lain dan membesarkan diri sendiri dihadapan para pemilih. Setelah Trump mengucapkan "Kung Flu," ribuan pendukungnya berteriak riuh rendah mengidolakan sang presiden.
Sumbangan prasangka rasial, etnik dan atau ras ini juga terjadi dari pengalaman menjelang Perang Dunia kedua di Eropa. Ketika berkuasa hingga Jerman kalah dalam Perang Dunia kedua, Hitler-penguasa Jerman yang mati bunuh diri pasca kekalahan dalam PD kedua, telah menyumbang besar bagi eksistensi kelompok-kelompok pendukung rasisme di Eropa dan Amerika.
Dalam merayakan hari kemerdekaannya, hingga hai ini bangsa Amerika juga terus bergulat dengan persoalan hubungan antar ras. Hari ini kita ucapkan selamat hari kemerdekaan bangsa Amerika Serikat. Semoga hubungan antar ras menjadi lebih baik di masa depan.
Barangkali dengan segala tingkah polah serta ucapan-ucapan rasis tak hanya bernada rasis hari ini boleh jadi adalah hari terakhir Donald Trump memimpin
perayaan hari kemerdekaan bangsanya sebagai presiden. Melihat jajak pendapat dan kecenderungan pilihan warga Amerika ditambah faktor pemberat dalam ucapan-ucapan rasis yang diproduksi Donald Trump dan mesin medianya, tampaknya perayaan hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 2021 boleh jadi akan dipimpin oleh penantang Trump yang mantan wakil Presiden AS era Obama, Joe Biden.
Sekali lagi selamat Hari Kemerdekaan Bangsa dan Negara
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV