> >

Gus Dur dalam Keriangan Imlek

Cerita indonesia | 30 Januari 2020, 09:36 WIB
(Gus Dur membuat kebijakan dibolehkannya perayaan Imlek di Indonesia. Sumber: Harian Kompas)

JAKARTA, KOMPASTV – Abdurrahman Wahid, Presiden keempat RI, mewariskan kebijakan yang melekat bagi warga etnis Tionghoa. Kebebasan warga Tionghoa di Indonesia dalam merayakan Tahun Baru China atau Imlek di bumi pertiwi menjadi peninggalan yang bersejarah. Imlek menjadi titik balik bagi tradisi dan kebiasaan warga etnis Tionghoa. Kebijakan yang diambil Tokoh Nahdlatul Ulama ini, menegaskan karakter nasionalis yang merawat pluralisme di negeri ini.

Gus Dur, sapaan khas 'orang pondokan', berperan besar hingga akhirnya etnis Tionghoa dapat merayakan Imlek secara terbuka. Pada era Orde Baru, di bawah kepemimpiman Presiden Soeharto, masyarakat Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. Larangan itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam aturan itu, Soeharto menginstruksikan etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat agar tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga. Sementara itu, untuk kategori agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China itu diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung. Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut. Setelah Soeharto lengser pada 1998, diskriminasi terhadap etnis tertentu tak serta merta menghilang. Tindakan diskriminatif kerap kali muncul, salah satunya saat etnis Tionghoa diwajibkan menyertakan surat bukti kewarganegaraan RI ketika mengurus dokumen kependudukan. Namun, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, perubahan pun terjadi.
Gus Dur mengambil langkah spontan dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Melansir Harian Kompas, Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo mengungkapkan bagaimana latar belakang dicabutnya Inpres tersebut. Menurutnya, pencabutan Inpres tersebut sangat unik. Prosesnya terbilang cepat dan spontan. Budi bahkan sempat kaget melihat sikap Gus Dur. "Waktu itu, kami ngobrol sambil berjalan mengelilingi Istana. Gus Dur lalu bilang, oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya," kata Budi, dikutip dari Harian Kompas yang terbit 7 Februari 2016. Perayaan Imlek dan Cap Gomeh tentu akan terhambat Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Namun, Gus Dur dengan spontan berkata akan segera mencabut Inpres tersebut. Inpres akhirnya dicabut dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Karena Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa akhirnya bisa merayakan Imlek atau hari raya lainnya secara terbuka. Kemeriahan Imlek akhirnya bisa dirasakan di Indonesia. Nuansa warna merah, lampion gantung, dan hiasan angpao tampak indah menghiasi pertokoan. Atraksi barongsai juga ikut menjadi daya tarik saat perayaan Imlek. Meski sudah bisa merayakan secara terbuka, baru dua tahun kemudian, tepat di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari nasional. Hal itu disampaikan Megawati saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002. Sementara itu, penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.

Label Bapak Tionghoa Indonesia

Meski sudah mencabut Inpres Nomor Nomor 14 Tahun 1967, pada tahun 2004 Gus Dur menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi. "Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004. Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa. Dia pun meminta masyarkat Tionghoa untuk terus berani memperjuangkan hak-haknya. "Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," kata Gus Dur. Etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia. Karena itu, tokoh Nahdlatul Ulama ini meminta seluruh masyarakat Indonesia memberikan hak dan kesempatan yang sama. "Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ujarnya.

"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," ucap Gus Dur.


Atas kebijakan dan pemikirannya, Gus Dur akhirnya mendapat gelar "Bapak Tionghoa Indonesia". Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan tekanan dan prasangka.

Sugiri Kustejo, akademisi sekaligus tokoh Tionghoa memberikan alasan mengapa Gus Dur layak diberikan Sinci. Semasa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. Stigma itu misalnya, dalam bentuk keburukan yang menimpa masyarakat, kaum Tionghoa jadi tumbal. "Dulu, semua keburukan dilimpahkan ke kami, barang mahal, kami yang disalahkan. Kalau masyarakat gagal panen, kami juga disalahkan," kata Sugiri.

Gus Dur juga dinilai telah berjasa membawa kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Sugiri mengungkap bagaimana sulitnya dulu kaum Tionghoa diberi kode tertentu. "Ketika mengurus surat, karena ada kodenya, ada tarif khusus dan saya harus membayar lebih," paparnya. Selain dua unsur tersebut, Gus Dur telah mengembalikan kebebasan berekspresi. Dalam hal ini, semua yang berkaitan dengan kebudayaan dibebaskan oleh Gus Dur. Penggunaan bahasa Mandarin, lanjutnya, juga diperbolehkan bersandingan dengan kebolehan belajar menggunakan bahasa Inggris, maupun Arab.

Gus Dur berjasa menjalankan kepercayaan tradisional dan menumbuhkembangkan budaya tersebut. Penghormatan pada Gus Dur dilakukan dengan peletakan Sinci masuk dalam latar tradisional Tionghoa. Komunitas ini mewajibkan untuk menghormati orang tua, leluhur baik ketika masih hidup, maupun meninggal dunia. "Kami ingin menghormati jasa-jasa Gus Dur baik ketika masih hidup dulu. Kalau sudah diberikan Sinci, namanya tentu akan selalu didoakan oleh komunitas Tionghoa," tambahnya. Sinci pada Gus Dur akan diberikan dalam rangkaian sembahyang King Hoo Ping yang merupakan tradisi penghormatan dan bakti kepada orang-orang yang telah meninggal. Sinci akan diletakkan dalam altar utama gedung perkumpulan Boen Hian Tong. Penghormatan ini merupakan bakti kepada arwah leluhur dan arwah umum di bulan ketujuh atau Jit Gwee.

Penulis : Herwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU