Severity: Notice
Message: Undefined property: stdClass::$iframe
Filename: libraries/Article_lib.php
Line Number: 241
Backtrace:
File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 241
Function: _error_handler
File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article
File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once
SOLO, KOMPAS TV - Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, turut mengomentari Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Mantan wakil Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo ini, mengaku bingung dengan beleid baru yang mengatur soal besaran iuran BPJS Kesehatan yang baru dikeluarkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu.
Menurut dia, kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang diambil Presiden Jokowi terlalu terburu-buru.
Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) belum lama menganulir Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur soal kenaikan iuran BPJS.
"Keputusan MA kan baru saja itu. Tapi sekarang muncul perpres baru lagi," kata FX Rudy di Solo, Jawa Tengah Kamis (14/5/12).
Baca Juga: DPR: Pemerintah Seharusnya Keluarkan Perpres Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Mengenai isinya pun Rudy masih membutuhkan kejelasan dari pemerintah pusat, terutama terkait peserta BPJS Kesehatan dari penerima bantuan iuran (PBI).
Mengacu pada putusan MA, iuran PBI sebesar Rp42 ribu. Sementara perpres baru menyebut Rp25.500 dan akan ditingkatkan menjadi Rp35 ribu pada 2021.
"Karena keputusan MA belum dijalankan, tapi sudah ada aturan baru, ini membuat pemda bingung. Kita harus bayar Rp42 ribu atau Rp35 ribu?" ujar dia.
Tak hanya itu, Rudy juga kebingungan soal Perpres yang disebut berlaku sejak ditandatangani. Namun, dalam perpres ditulis berlaku pada 2021.
“Ini mesti harus diluruskan dulu," tutur Rudy.
Karena itu, Rudy meminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau kembali Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan akan Kembali Digugat ke Mahkamah Agung
Sebab, Perpres tersebut dinilai tidak tepat dikeluarkan saat ini karena di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19. Banyak masyarakat mengalami kesulitan akibat pandemi ini.
"Kondisi seperti ini menaikkan BPJS menurut saya nggak pas karena banyak masyarakat kena PHK, dirumahkan. Bagi yang mandiri, kondisinya nggak bisa mengais rezeki. Usulan saya ditinjau kembalilah," kata Rudy.
Sebelumnya, alih-alih melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Februari 2020.
Presiden Jokowi malah memilih menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Perpres baru.
Dalam aturan baru itu, kenaikkan iuran BPJS Kesehatan berlaku bagi peserta mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Baca Juga: Terungkap Alasan Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi
Keputusan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pada Pasal 34 mengatur besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Bunyi pasal 34 point B menyebutkan, untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya, iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp80.000 menjadi Rp150.000.
Lalu, peserta iuran mandiri kelas II naik dari Rp51.000 menjadi Rp100.000. Sedangkan, peserta iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp 35.000.
Perpres Nomor 64 tahun 2020 menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.
Dalam Perpres tersebut, Jokowi juga resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri sebesar 100 persen yang berlaku mulai April 2020 lalu.
Baca Juga: Mulai 1 Juli Iuran BPJS Kesehatan Resmi Berubah: Berikut Rincian Biaya Kelas I, II, dan III
Meski terdapat perubahan iuran, BPJS Watch menilai aturan ini masih memberatkan masyarakat. Pasalnya, iuran peserta mandiri kelas I dan II dianggap tidak jauh berbeda dengan aturan sebelumnya.
"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar, sehingga seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat," kata Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar.
Timboel menegaskan, di Pasal 38 Perpes tersebut menyatakan kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat.
"Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini, putusan MA hanya berlaku 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni 2020," kata Timboel.
Padahal, menurutnya, peserta mandiri adalah kelompok masyakarat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh wabah Covid-19.
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Resmi Berubah Mulai 1 Juli, Peserta Kelas III Hanya Bayar Rp25.500 Per Bulan
Bukan hanya soal iuran, di tahun mendatang terdapat peningkatan denda bagi peserta yang sempat tidak aktif dan menunggak.
Denda yang dikenakan menjadi 5% di 2021, padahal sebelumnya besaran denda hanya 2,5%.
Timboel pun turut menyoroti hal lain yang diatur dalam aturan ini. Untuk iuran PBPU dan PBI kelas III. Menurut Timboel, dengan aturan demikian, pemerintah sudah melanggar ketentuan UU SJSN, di mana pemerintah membayar iuran JKN rakyat miskin.
"Tetapi di Perpres 64 ini kelas III mandiri yaitu PBPU dan BP disubsidi Rp16.500 oleh Pemerintah sejak 1 Juli 2020," ujar Timboel.
"Bahwa ada peserta PBPU dan BP yang mampu tetapi iurannya disubsidi pemerintah." (Christian Widi)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.