SOLOK, SELATAN, KOMPAS.TV – Kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat, kembali memunculkan pertanyaan besar terkait integritas penegakan hukum di tubuh kepolisian.
Pengurus Besar Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumatera Barat menduga, ada perlindungan terhadap kejahatan lingkungan usai Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar, diduga menembak Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ulil Ryanto Anshari, yang tengah mengusut aktivitas tambang ilegal di daerah tersebut, Jumat (22/11/2024).
PBHI Sumbar pun menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
"Penembakan yang diduga dilakukan oleh Kabag Ops Polres Solok Selatan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas hak untuk hidup sebagaimana dilindungi melalui Pasal 28I ayat (1)," kata PBHI dalam pernyataan tertulisnya.
PBHI Sumbar menilai insiden ini semakin menguatkan kecurigaan masyarakat bahwa aparat kepolisian turut terlibat dalam melindungi aktivitas tambang ilegal di Sumatera Barat.
"Dengan adanya penembakan dalam kasus ini mengkonfirmasi bahwa kecurigaan-kecurigaan masyarakat terhadap adanya keterlibatan Polisi dalam membackingi aktifitas pertambangan di Sumatera Barat baik legal maupun ilegal, patut diduga keras benar adanya!" tegas PBHI Sumbar.
PBHI Sumbar juga menyoroti penggunaan senjata api oleh Kabag Ops yang dinilai tidak sesuai dengan Perkapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Tugas Kepolisian.
Baca Juga: [FULL] Pengusutan-Kronologi Kasus Polisi di Sumatera Barat Tewas Ditembak Polisi
Dalam aturan tersebut, senjata api hanya boleh digunakan untuk menghadapi situasi yang mengancam nyawa atau mencegah kejahatan berat.
"Penembakan yang dilakukan tidak sesuai prosedur tersebut juga menjadi bukti bahwa selama ini, tidak pernah dilakukan evaluasi yang serius dan atau pemberian sanksi yang tegas bagi oknum polisi yang menggunakan senjata api secara berlebihan," kata PBHI Sumbar.
Meskipun telah ada UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan Permen LHK No 10 Tahun 2024 yang mengatur perlindungan bagi pejuang lingkungan, kasus ini mencerminkan lemahnya implementasi aturan tersebut.
"Salah satu jawabannya, karena pelakunya berada dan menjadi “bagian lain” dari institusi yang mestinya memberikan perlindungan. Pada bagian lainnya, kasus-kasus tambang illegal menjadi “rahasia umum” terhubung ke aktor-aktor kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif," jelas PBHI Sumbar.
"Negara harus segera memperkuat regulasi dan kebijakan konkrit perlindungan bagi setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup," ungkapnya.
PBHI Sumbar mendesak Kapolri memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Mereka meminta Kapolda Sumbar dicopot dari jabatannya karena dinilai gagal menjaga integritas institusi di wilayahnya.
Selain itu, PBHI juga mendesak agar ada pemeriksaan terhadap dugaan keterlibatan aparat dalam melindungi aktivitas tambang ilegal di Sumatera Barat.
"Negara harus memperkuat kembali pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi terkait dengan perlindungan hukum terhadap orang-orang yang ingin membongkar, mengusut, menginformasikan kasus-kasus kejahatan lingkungan meskipun sudah ada UU No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan diperkuat dengan Permen Lingkungan Hidup No 10 Tahun 2024 yang mengatur perlindungan bagi pejuang lingkungan hidup, namun faktanya semua aturan yang dibuat ini kembali mandul tanpa adanya pengawasan dan penindakan hukum yang kuat bagi pelaku kejahatan lingkungan," demikian pernyataan tersebut.
Baca Juga: Kapolri Soal Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok: Apa Pun Pangkatnya, Tindak Tegas, Tanpa Ragu!
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.