JAKARTA, KOMPAS.TV - Berbekal perangkat komunikasi gelombang radio yang melekat dalam genggaman, seorang polisi berdiri tegak di simpang metropolitan di sudut ibu kota.
Setiap pagi hingga malam, polisi bernama Junaedi Effendi itu mengawasi laju kendaraan yang melintas dengan penuh kecermatan.
Pria bergelar Inspektur Polisi Satu (Iptu) itu mengaku tak pernah pulang pada hari pertama Idulfitri setiap tahun, sejak lima tahun terakhir.
"Hari ini saya belum sempat pulang ke rumah sejak semalam karena ada kunjungan dari para petinggi. Hari pertama Idulfitri setiap tahun, saya selalu sedang bertugas di lapangan," kata Iptu Junaedi, Minggu (23/4/2023) dilansir dari Antara.
Iptu Junaedi merupakan sosok yang bertanggung jawab sebagai Kepala Pos Pelayanan Lebaran 2023 Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Timur, Kepolisian Sektor (Polsek) Duren Sawit.
"Hampir lima tahun saya menjadi Kepala Pos di sini, dari libur Lebaran, Iduladha, Natal, dan Tahun Baru, selalu siap melayani masyarakat," ujarnya.
Selama lima belas hari sepanjang arus mudik-arus milir libur Lebaran 2023 kali ini, sosok kelahiran 6 Juni tersebut mendapatkan tugas untuk memastikan kelancaran dan keamanan arus lalu lintas yang menjadi wilayah kerjanya.
Baca Juga: Kisah Satpam Kompleks yang Jaga Rumah saat Lebaran: Sepi Layaknya Kuburan, Tak Bisa Kumpul Keluarga
"Kalau ditanya ingin mudik atau tidak, kangen keluarga atau tidak, tentu saja jawabannya kangen dan ingin pulang kampung," katanya sambil tersenyum.
Iptu Junaedi nyaris tak pernah pulang kampung ke tanah kelahirannya di Kecamatan Kampung Dalam, Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat, setiap kali takbir menggema sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan.
Sebagai prajurit, ia harus selalu siap kala mendapatkan penugasan apa pun dan di mana pun. Mengabdi di kepolisian sejak tahun 1987, bapak lima anak dan empat cucu tersebut mengingat hanya dua kali ia sempat melepaskan rindu dengan anggota keluarga yang ada di Pariaman.
"Pertama pulang kampung ketika ada gempa di Padang tahun 2009, kalau tidak salah. Itu pun tidak bisa disebut cuti resmi karena saya ke sana akibat keadaan darurat, sedangkan cuti resmi pulang kampung ya empat tahun lalu, sebelum COVID-19," ungkapnya.
Sebagai abdi negara, Iptu Junaedi juga merasakan sedih dan sempat ingin menangis karena tak bisa menemui orang tuanya pada momen hari raya, baik Idulfitri maupun Iduladha. Rasa rindu itu memuncak terutama saat orang tuanya masih hidup dan berada di dunia ini.
"Sebelum orang tua meninggal, rasa rindu itu sangat besar. Apalagi ketika mendengar suara gema takbir di mana-mana, tentu sedih. Akan tetapi mau menangis, ya kita ini kan prajurit," kata laki-laki yang bergelar sarjana hukum dari Universitas Bung Karno pada 2014 itu.
Baca Juga: Kisah Pemudik yang Ingin Terlihat Sukses di Kampung Halaman, Rela Sewa Motor hingga Mobil
Saat mudik terakhirnya pada 2019, lelaki yang pernah menjadi bagian Samapta Bhayangkara (Sabhara) tersebut hanya mengajak sang istri mengunjungi kakak sepupu dan saudara-saudara perempuannya di Kampung Dalam.
Mengobati rasa rindu yang belum terbayar sejak sepuluh tahun sebelumnya, Iptu Junaedi memutuskan terbang ke kampung halaman dan menghabiskan waktu 10 hari di kampung.
"Saya mendapatkan cuti enam hari, namun komandan saya memberikan tambahan hari karena bisa memahami bahwa saya sangat jarang kembali ke kampung selama bertahun-tahun," jelasnya.
Iptu Junaedi hanya dua kali mengambil cuti pulang kampung selama puluhan tahun sejak pertama kali menjadi anggota polisi pada 1987.
"Ya, kalau mengajak liburan keluarga sesekali pernah juga untuk jarak dekat, misalnya, jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah. Selebihnya, lebih banyak waktu untuk bertugas, jarang sekali ambil cuti," tandas pria yang mengikuti pendidikan Perwira dan lulus pada 2016 ini.
Junaedi memutuskan merantau ke Medan, Sumatera Utara saat berusia 12 tahun. Ia adalah anak ketiga dari empat laki-laki bersaudara dari keluarga petani.
Ia menyelesaikan masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Medan dengan menumpang hidup bersama sang kakak.
Usai menyelesaikan pendidikan SMP, Junaedi remaja mencoba peruntungan di Jakarta dan menjalani pendidikan tingkat atas di SMA 14 Cawang Jakarta Timur.
Saat tinggal bersama kakak tertua di Jakarta, Junaedi sempat menganggur selama satu tahun selepas lulus dari SMA. Ia kemudian memanfaatkan waktu untuk berjualan sepatu di kawasan kaki lima dekat Gardu Induk PLN Cawang.
"Saya jualan di situ, berteriak-teriak manggil-manggil setiap orang yang lewat," kenangnya.
Kala itu, ia juga kerap membantu usaha salah seorang kakak sepupu yang berprofesi sebagai penjahit pakaian. Kakak sepupunya itu sering mendapatkan pesanan dari para anggota Asrama Brimob Petamburan Jakarta Pusat.
Baca Juga: Kisah Mbah Pur Mudik Demak-Yogyakarta Pakai Sepeda Kumbang di Usia 70 Tahun
Suatu hari, kakak sepupu Junaedi iseng bertanya kepada salah seorang anggota polisi mengenai kemungkinan si adik sepupu menjajal karier di dunia Bhayangkara.
"Saya disuruh mendaftar kalau ada pembukaan. Saking bersemangat, saya antre mengambil nomor di kantor Polda sejak pukul 12 malam dan baru mendapatkan nomor pukul 11 siang," katanya sambil tertawa.
Rupanya, rezeki dan alur kehidupan Junaedi memang ditakdirkan di Korps Bhayangkara. Usai mengikuti berbagai tes, Junaedi dan sekitar 600 orang lainnya diterima untuk menjalani serangkaian pendidikan dan pelatihan.
"Zaman itu, pendidikan sekitar 11 bulan ditambah praktik jadi genap satu tahun. Karena daya tampung (pusat pendidikan) di Lido cuma 400 orang, maka saya dikirimkan ke Porong, Surabaya, bersama dua ratusan orang lainnya. Dari jumlah itu, yang balik ke Jakarta cuma 21 orang, termasuk saya," paparnya.
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) menjadi wilayah kedinasan pertama Junaedi. Setelah naik pangkat menjadi sersan satu senior menjelang sersan kepala, ia dipindahkan ke Polres Jakarta Timur selama dua tahun. Setelah itu, pelayanan kepada negara berpindah ke Polsek Duren Sawit hingga saat ini.
Iptu Junaedi mengaku tak pernah terpikir untuk menjadi seorang abdi negara di kepolisian. Menurutnya, saat masih kecil, ia malah tidak memiliki cita-cita karena di kampungnya tidak banyak orang dengan profesi yang beragam.
"Pegawai negeri sipil saja jarang sekali di kampung saya waktu itu. Akan tetapi, sekarang di kampung saya sudah banyak guru dan ada dua orang polisi," ungkapnya.
Baca Juga: Kisah Para Porter di Stasiun: Ada yang Sudah 26 Tahun, Dibayar Seikhlasnya
Sebagai pengobat rasa rindu sekaligus menjaga silaturahmi, Iptu Junaedi tak lupa mengunjungi sang kakak yang memiliki usaha garmen rumahan di bilangan Bekasi dan adik yang menjadi seorang pedagang.
"Selalu saya yang mendatangi mereka karena kalau sebaliknya, seringkali kami tidak bertemu karena saya pasti sedang bertugas," pendeknya.
Lagi pula berkat kemajuan zaman, Iptu Junaedi bersyukur bahwa perkembangan teknologi saat ini memungkinkan setiap orang untuk melepaskan rindu lewat panggilan telepon video.
"Hari ini saya sempat video call dengan saudara-saudara di kampung. Mereka tanya kenapa saya tidak pulang, saya jelaskan masih bertugas. Dari seragam yang saya kenakan, mereka sudah tahu kalau saya tidak akan mudik," katanya mengulum senyum.
Iptu Junaedi paham betul bahwa momentum libur Lebaran adalah saat paling tepat melepaskan kerinduan kepada sahabat-sahabat masa kecilnya.
"Rasa kangen ibarat pepatah walau hujan emas di negeri orang, tapi tetap lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Ada keinginan dan kerinduan bertemu dengan teman-teman yang hanya terobati saat libur Lebaran," tandas Iptu Junaedi.
Baca Juga: Kisah Masinis Kereta: Diprotes Selalu Absen Lebaran Keluarga, Kini Didoakan Antar Selamat Pemudik
Meski selama 35 tahun mengabdi dan hanya dua kali mengambil cuti untuk pulang ke kampung halaman, Junaedi tetap mengikat sikap setia bahwa tugas negara jauh lebih penting ketimbang urusan pribadi.
"Setiap bertugas selalu dibawa senang. Memang cukup sedih ketika Hari-H Lebaran tidak bisa berkumpul atau hadir kalau ada masalah di keluarga. Akan tetapi alhamdulillah, keluarga memahami bahwa itu adalah risiko pekerjaan," tutupnya.
Dedikasi Junaedi selama puluhan tahun itu membawa banyak orang merasa aman dan nyaman di jalan. Sikap hormat dan senyum tulus pengguna jalan ketika bertatap muka dengannya merupakan bisikan doa kebaikan baginya.
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.