"Tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” ujar Zastrouw.
Baca Juga: 30 Ucapan Selamat Hari Raya Idulfitri 2023 untuk Teman, Rekan Kerja hingga Calon Mertua
Meskipun sudah ada teknologi komunikasi yang canggih, tradisi mudik tetap bertahan karena dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat.
"Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif," ungkap Zastrouw.
Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, mulai dari kemacetan, polusi, serta kesenjangan, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis.
Baca Juga: Imbau Masyarakat Mudik Pakai Kereta, Erick Thohir: Yang Mampu Bisa Naik Pesawat
Menurut Zastrouw, tidak hanya Indonesia yang memiliki tradisi mudik, tetapi juga sebagian besar masyarakat dunia.
Di Korea Selatan, misalnya, tradisi mudik dilakukan saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur.
Di Amerika Serikat, mudik terjadi saat perayaan Thanksgiving yang dirayakan pada Kamis minggu keempat November. Sementara China, setiap Tahun Baru Imlek, warga mudik dengan istilah Chunyun.
Baca Juga: Arus Mudik 2023, Kemenhub: Hari Ini Naik Drastis, Puncaknya Besok 19 April
Zastrouw mengungkapkan tradisi mudik bahkan telah dikenal sejak zaman Majapahit.
Masyarakat pendatang pada zaman itu yang berada di suatu daerah kembali ke kampung halaman saat perayaan tertentu.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.