JAKARTA, KOMPAS.TV- Pada hari ini, 11 November, memiliki makna penting bagi seorang pangeran yang namanya menggemparkan kolonialisme Belanda di tanah air. Tepatnya 11 November 1785, Pangeran Diponegoro lahir dari keluarga para sultan di Yogyakarta.
Ayahnya, Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III.
Dari pihak ibu merupakan selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan.
Diponegoro lahir dengan nama Raden Mas Mustahar saat sahur pada bulan puasa. Peter Carey, penulis buku Diponegoro paling otoritatif dalam buku "Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)," terbitan Kompas, menyebut dalam kronologi Jawa, tanggal kelahiran bakal calon raja ini menunjukkan pertanda baik.
Baca Juga: Kisah Sedih Pangeran Diponegoro di Pengasingan, Dipisahkan dari Keluarga dan Ditinggal Mati Anaknya
Ketika bayi, sang pangeran pernah dibawa sowan oleh ibunya menghadap kakenya, Sultan Mangkubumi, yang sudah lanjut usia. Dan dia meramalkan bahwa bayi kecil itu bakal menimbulkan kerusakan pihak Belanda.
Ramalan itu jadi kenyataan, ketika Diponegoro dewasa saat menerima nama dewasa dan gelar Raden Ontowiryo. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar keraton bergaul dengan petani dan msayarakat. Kebencian pada para penjajah sudah tampak sejak remaja.
Dalam catatan orang Belanda di Jawa, Diponegoro muda digambarkan, "Seorang bangsawan, namun pada saat yang sama seorang yang penuh percaya diri, dianugerahi bakat kelihaian, watak yang kuat (dan) giat berusaha..."
Setelah melewati masa ketegangan dan goncangan dalam dalam istana akibat campur tangan Belanda, Diponegoro kemudian tampil sebagai sosok yang berani melawan kesewenang-wenangan kolonial. Dari sanalah sebutan "Ratu Adil" disematkan padanya, sebagai sosok yang dinantikan oleh masyarakat Jawa.
"Pangeran lantas keluar dari keremangan Tegalrejo dan berdiri tegak sebagai Ratu Adil yang sejak lama dirindukan dan dinanti-nantikan," tulis Peter carey.
Tegalrejo adalah tempat di mana pangeran dibesarkan bersama ibunya.
Akhirnya, perang Jawa pun meletus selama lima tahun (1825-1830). Pangeran Diponegoro tampil sebagai pemimpin utama.
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda.
Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.
Baca Juga: Ketika Perang Jawa Berakhir di Bulan Ramadan dan Pangeran Diponegoro Ditangkap
Namun pada 1829, Belanda kemudian meraih kemenangan. salah satunya, karena Belanda menawan orang-orang terdekat sang pangeran seperti ibundanya, Raden Ayu Mangkorowati dan anak perempuannya, Raden Gusti Ayu. Pada tahun 1829 itu, Diponegoro nyaris berjuang seorang diri.
Serangan malaria tropika akibat bersembynyi di hutan-hutan membuat tubuh pangeran makin lelah dan sakit-sakitan.
Belanda pun meningkatkan kekuatan militernya. Bagi kolonial Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal.
Bahkan, Belanda mengeluarkan sayembara, kepala Diponegero dibanderol sebesar 20 ribu gulden bagi yang berhasil menangkapnya. Belanda juga mengerahkan empat pasukan gerak cepat. Namun kekuatan militer yang besar dan mahal itu tidak pernah berhasil menangkap Diponegoro.
Sang Pangeran justeru berhasil ditangkap berkat siasat licik dari Jenderal De Kock di hari kedua Lebaran pada 28 Maret 1830 di Magelang. Kedatangan Diponegoro di hari kedua sebenarnya sebagai kunjungan silaturahmi.
Namun De Kock justeru punya siasat licik. Sejak 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.
Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah saat ini).
Setelah itu, pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama keluarga kecilnya. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Bagi Belanda, perang Jawa adalah perang paling mahal. Dalam tempo lima tahun korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa dan korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
Baca Juga: Pernah Dinyatakan Hilang Ratusan Tahun, Keris Pangeran Diponegoro Kini di Solo
Kekalahan Pangeran Diponegoro kemudian mengubah tatanan tanah jawa. Belanda semakin menegaskan penguasaan atas Pulau Jawa. Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda.
Namun Belanda harus membayar mahal, 20 juta gulden terkuras akibat perang itu, hingga membuat keuangan Belanda nyaris bangkrut.
Dari sinilah politik tanam paksa (cultuurstelsel) dimulai untuk mengganti kerugian biaya perang. Cultuurstelsel berarti kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di pasar Eropa seperti kopi. Namun, ini pun awal kesengsaraan berikutnya bagi bangsa Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.