JAKARTA, KOMPAS.TV - Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung periksa tiga purnawirawan berpangkat jenderal TNI terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan Tahun 2015 s/d 2021.
Ketiga purnawirawan TNI tersebut diperiksa sebagai saksi. Tiga saksi yang dimaksud, yakni:
1. Laksamana Madya TNI (Purn) AP selaku Mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI.
Ia diperiksa terkait proses penyelamatan slot orbit 123° Bujur Timur (BT), keikutsertaan dalam Operator Review Meeting (ORM XVII Pertama dan Kedua) di London, serta Kontrak Sewa Satelit Floater dengan Avanti Communication Limited.
2. Laksamana Muda TNI (Purn) L, mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI.
L diperiksa terkait proses penyelamatan slot orbit 123° Bujur Timur (BT), khusus Kontrak Pengadaan Satelit L-Band dengan Air Bus, pengadaan Ground Segment dengan Navayo maupun Jasan Konsultasi dengan Hogen Lovells, Détente, dan Telesat.
3. Laksamana Pertama TNI (Purn) L selaku mantan Kepala Pusat Pengadaan pada Badan Sarana Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI.
Ia diperiksa terkait proses penyelamatan slot orbit 123° Bujur Timur (BT), khusus Kontrak Pengadaan Satelit L-Band dengan Air Bus, pengadaan Ground Segment dengan Navayo maupun Jasan Konsultasi dengan Hogen Lovells, Détente, dan Telesat.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan Tahun 2015 s/d 2021," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya.
Baca Juga: Kejagung Periksa 1 Saksi Terkait Kasus Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Di Kemhan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kamis (13/1/2022) silam.
Proyek tersebut terkait Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015. Saat itu Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Perkara bermula pada 19 Januari 2015 ketika Satelit Garuda-1 keluar orbit dari slot (posisi) 123 derajat Bujur Timur (BT) yang berada di atas Sulawesi.
Keluarnya satelit tersebut membuat kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Merujuk aturan International Telecommunication Union (ITU) slot tersebut harus diisi jika tak mau diberikan ke negara lain.
Pihak ITU memberikan waktu 3 tahun untuk mengisi slot itu.
Mahfud MD mengatakan permasalahan muncul ketika pihak yang mengelola slot, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT.
Kemenhan, jelas Mahfud, meminta untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Baca Juga: Panglima TNI: Kami Masih Tunggu Kejagung Ungkap Anggota TNI yang Terlibat Korupsi Satelit Kemhan
Kemhan lantas membuat kontrak sewa satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.
Saat melakukan kontrak dengan Avanti, Kemhan diketahui belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tutur Mahfud.
Untuk membangun Satkomhan Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016.
Ketika anggaran telah tersedia di tahun 2016, Kemhan melakukan self blocking.
Avanti kemudian menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Mahfud melanjutkan pemerintah juga menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Pemerintah harus membayar Rp304 miliar.
"Selain sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara juga berpotensi ditagih lagi oleh AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," tutur Mahfud.
Baca Juga: Beda dengan Jaksa Agung, Dirdik Jampidsus Tegaskan Tetap Periksa Militer di Kasus Satelit Kemhan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.