JAKARTA, KOMPAS.TV – Tawaran Kapolri untuk merekrut 57 eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ASN di tubuh Polri merupakan sikap presiden.
Pernyataan itu disampaikan oleh mantan juru bicara KPK Johan Budi, yang saat ini menjadi anggota Komisi III DPR RI, dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV, dengan tema Polri Rekrut Eks KPK, Masalah atau Solusi?, Rabu (6/20/2021).
Johan mengatakan, jika dicermati, sebelum Kapolri menyampaikan pernyataan untuk merekrut 57 eks pegawai KPK tersebut, dia sudah berkoordinasi dengan Presiden.
Menurutnya, Presiden pasti setuju dengan yang disampaikan oleh Kapolri. Sebab, jika tanpa persetujuan Presiden, tidak mungkin Kapolri akan melakukan itu.
“Saya yakin, kalau Pak Presiden tidak setuju, Pak Kapolri tidak akan melakukan itu. Ini sikap presiden sebenarnya,” ucap Johan.
Johan menambahkan, sebelum ada penyaataan Kapolri, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan sikapnya sebagai kepala negara.
Baca Juga: Bivitri Nilai Tawaran Kapolri Rekrut 57 Eks Pegawai KPK Adalah Gimmick Politik
Kala itu Jokowi menyatakan agar tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak dijadikan sebagai alat untuk memecat.
“Pak Jokowi sudah menyatakan sikap sebagai kepala pemerintahan, menyatakan bahwa TWK jangan sampai jadi alat untuk pemecatan. Tapi pelaksanaannya adalah pimpinan KPK,” tegas Johan.
Dalam kesempatan itu Johan juga menyebut bahwa tawaran Kapolri untuk merekrut 57 eks pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Polri merupakan niat baik demi membantu kebuntuan antara pimpinan KPK dengan 57 eks pegawai KPK.
“Karena itu, di awal, waktu itu saya sebut sebagai jalan tengah untuk kebuntuan antara pimpinan KPK dengan pegawai KPK yang 57.”
Saat ini, lanjut Johan, yang harus dicermati bersama adalah sejauh mana prosesnya. Kapolri sendiri, kata Johan, sudah menyampaikan akan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB). “Dan itu harus dilakukan,” ucapnya.
Johan juga menyebut, sejak awal dirinya menyebut persoalan itu dengan alihstatus. Dia tidak mau menyebut pelaksanaan TWK sebagai proses menjadi ASN.
Sebab, proses yang dilakukan oleh KPK tidak menggunakan proses awal menjadi ASN.
“Ini karena ada revisi UU KPK 30/2002 (Nomor 30 tahun 2002) menjadi 19/2019 (UU Nomor 19 tahun 2019), yang seharusnya menurut saya otomatis menjadi ASN,” jelasnya.
Johan juga menyatakan bahwa ketika mereka alihstatus, tes yang diberikan pada pegawai KPK pun tidak sama dengan proses sesorang menjadi ASN, misalnya persyaratan tentang batasan usia.
“Sejak awal saya sampaikan, seharusnya perubahan undang-undang itu tidak mengakibatkan ada pemberhentian. Harusnya mereka otomatis menjadi ASN,” ulangnya.
Baca Juga: 57 Eks Pegawai KPK Belum Putuskan Menerima atau Menolak Tawaran Kapolri
Namun, kebuntuan terjadi. Pimpinan KPK berargumentasi, dengan dasar-dasar menurut mereka sudah sesuai dengan apa yang mereka yakini.
“Ini kan jalan buntu. Saya melihat (tawaran) Pak Kapolri ini sebagai niat baik untuk menyelesaikan kebuntuan.”
Tentu saja, lanjut Johan, tawaran dari Kapolri itu harus dilihat lebih detail lagi, dan keputusan untuk menerima atau tidak, berada di tangan 57 eks pegawai KPK.
Narasumber lain dalam acara itu, Dosen STH Indonesia Jentara, Bivitri Susanti, justru menilai sebaliknya.
Menurutnya, tawaran Kapolri untuk merekrut 57 eks tegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ASN di Polri merupakan gimmick politik.
"Kalau saya sih melihat perkembangannya, sebenarnya gimmick politik,” ucap pegiat antikorupsi ini.
Hal itu terlepas dari diterima atau tidaknya penawaran Kapolri tersebut oleh ke-57 eks pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Menurut Bivitri, jika melihat dari ketatanegaraan, ada fenomena yang harus diperhatikan, yakni penyampaian penawaran itu dilakukan oleh Kapolri.
Seharusnya, menurut Bivitri, presiden yang menyampaikan hal itu. Sebab, presiden bukan sekadar kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala seluruh ASN, termasuk BKN yang dipermasalahkan dalam proses ini.
“Tetapi juga, dia sudah menerima rekomendasi dari dua lembaga yang memang tugasnya memberi rekomendasi pada presiden, yaitu Ombudsman dan Komnas HAM,” ucap Bivitri lagi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.