“Kalau saya bawa uang, saya digeledah. Jadi saya minta tolong Mbak Megawati, lalu uangnya ditaruh di kaleng biskuit di bawah roti. Uangnya enggak banyak, tapi cukup untuk pegangan Bung Karno,” kata Sidarto.
Uang itu, kata Sidarto, digunakan Soekarno untuk makan selain dari makanan rutin buatan koki yang sangat sederhana.
Sementara, pihak keluarga hanya bisa sesekali datang membawakan makanan dan menemui Soekarno
“Jadi, apa yang dimakan di Wisma Yaso itu adalah makanan yang lebih sederhana, jauh lebih sederhana,” ujar Sidarto.
Pemerintah saat itu kemudian menarik Sidarto dari tugas sebagai ajudan Soekarno karena ia beberapa kali menemui pengikut Sang Proklamator.
“Kadang-kadang saya bertemu pendukung beliau dan kalangan penguasa tidak berkenan. Jadi, saya ditarik pada Mei 1968. Tapi, kondisi beliau sudah memburuk,” beber Sidarto.
Setelah Sidarto tak lagi menjadi ajudan Soekarno, ia mendengar kabar tidak enak dari Profesor Mahar Mardjono, mantan rektor dan guru besar Neurologi Universitas Indonesia dan dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI.
Berdasarkan keterangan dari keduanya, Sidarto blak-blakan menyebut Soekarno mengalami pembiaran saat sakit di Wisma Yaso.
”Saya harus katakan bahwa ini pembiaran. Soekarno tidak dirawat dengan layak. Jadi, kondisinya memburuk,” tegas Sidarto.
Baca Juga: Resmikan Patung Soekarno, Megawati: di Masa Orde Baru, Bung Karno Tidak Diceritakan secara Benar
Hal ini pun dikonfirmasi oleh Asvi. Asvi mendengar kesaksian langsung dari Kartono Mohamad bahwa Soekarno tidak mendapat obat selayaknya.
“Profesor Mahar tentu tahu apa saja penyakit Bung Karno dan membuat resep yang bisa memang dimakan Bung Karno. Tetapi, resep itu kan tidak dibeli atau ditebus dan dibiarkan saja,” ungkap Asvi.
Asvi juga membandingkan perlakuan pada Soekarno dengan Jenderal Sudirman. Menurut Asvi, pemerintah pada 1950 berusaha mencarikan obat untuk Jenderal Sudirman yang sakit TBC.
“Sengaja pemerintah berusaha mendapatkan obat itu. Tapi, sayangnya itu sudah terlambat dan Jenderal Sudirman meninggal pada 1950. Tapi, pemerintah sudah berupaya sungguh pun itu di daerah yang dikuasai Belanda,” ujar Asvi.
“Tapi, itu tidak terjadi pada Bung Karno, ketika resep obat yang dibuatkan Profesor Mahar tidak dibelikan. Ada gejala gagal ginjal pada Bung Karno, kalau kita lihat fotonya. Tapi, kenapa juga tidak diupayakan mesin cuci darah atau semacam itu,” lanjutnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.