Sebelum mengorbit di LEO dengan modul deployer (modul JSSOD) milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), SS-1 telah diluncurkan menuju ISS pada Minggu, 27 November 2022. Peluncuran SS-1 menuju ISS tersebut menggunakan roket SpaceX CRS-2 dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) Kennedy Space Center, Florida.
Pelepasan SS-1 menuju orbit ini membuat satelit tersebut akan beroperasi di ketinggian rendah, yakni 400-420 kilometer di atas permukaan Bumi, dengan sudut inklinasi 51,7 derajat. Satelit ini akan melewati Indonesia selama 1,5 jam hingga dua jam sekali.
Peluncuran satelit nano relatif baru di Indonesia karena mayoritas yang beroperasi dan dipakai saat ini merupakan satelit mikro. Berdasarkan spesifikasinya, SS-1 adalah satelit nano atau cubesat yang berukuran 10 sentimeter (cm) x 10 cm x 11,35 cm. Satelit ini memiliki berat 1-1,3 kilogram atau lebih kecil dari satelit mikro dengan berat mencapai 50-70 kilogram.
Dimensi SS-1 yang sangat kecil, satelit ini diperkirakan dapat beroperasi minimal hingga dua tahun. Lama waktu SS-1 mengorbit juga bergantung dari baterai yang ditanam dalam satelit ini.
Setelah beroperasi, satelit nano ini bisa berfungsi sebagai media komunikasi via satelit dalam bentuk pesan singkat (SMS). Teknologi ini juga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana, pemantauan jarak jauh dan level ketinggian air, serta komunikasi darurat.
”Untuk aplikasi ke depan, layanan SMS tidak dilakukan oleh orang, melainkan alat seperti sensor gempa, tsunami, hingga gunung berapi. Namun, pemanfaatan untuk sistem pelacakan harus mengubah frekuensi dari amatir ke komersial,” ujarnya.
Baca Juga: Inilah Citra Satelit Ledakan Jembatan Crimea Andalan Rusia yang Dibangun Putin
Beragam fungsi dari SS-1 membuat satelit ini sangat efektif terutama untuk potensi penggunaan di Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemanfaatan SS-1 bisa lebih optimal apabila terdapat berbagai sensor yang bisa secara otomatis memperbarui kondisi di Bumi.
Ketua Tim Pengembangan Satelit Nano Setra Yoman Prahyang mengatakan, secara umum perbedaan antara satelit nano dan satelit konvensional yang paling signifikan ialah dari segi ukuran. Ukuran satelit nano yang kecil ini akan memudahkan dalam proses desain dan manufaktur sehingga dapat dikembangkan oleh ilmuwan muda, termasuk mahasiswa.
”Untuk saat ini kami akan memantau SS-1 terlebih dahulu. Kemudian untuk rencana ke depan, kami memiliki tim yang sangat bersemangat untuk pengembangan lebih lanjut. Namun, agar ada aspek keberlanjutan perlu persiapan visi hingga pengguna,” tuturnya.
Proyek SS-1 pertama kali diinisiasi oleh ilmuwan muda Indonesia dari Surya University bekerja sama dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) sejak 2016. Pada 2017, SS-1 memulai pengerjaan dan pelatihan pembuatan satelit nano dengan supervisi dari para periset di Pusat Teknologi Satelit yang saat itu masih di bawah naungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atau sebelum melebur ke dalam BRIN.
Pengembangan SS-1 kemudian mendapat dukungan kembali dari BRIN berupa bimbingan yang dimulai dari tahap desain, manufaktur, perangkaian, hingga pengujian satelit.Dukungan dalam pengembangan satelit ini semakin diperkuat dengan kolaborasi multipihak antara tim insinyur muda bersama PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Pudak Scientific, Orari, hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sumber : Kompas TV/KBRI Tokyo/Kompas
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.