LONDON, KOMPAS.TV - Penambangan skala industri untuk bahan-bahan seperti batu bara, emas, dan bijih besi memicu deforestasi parah kawasan tropis dunia, dengan lebih dari setengah deforestasi tropis oleh pertambangan industri dalam dua dekade terakhir terjadi di Indonesia, terutama periode i tahun 2010 - 2014.
Demikian menurut penelitian baru yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) tanggal 12 September 2022. yang dilaporkan Straits Times, Selasa, (12/9/2022).
Dalam studi pertama yang mengukur dampak pertambangan industri terhadap hilangnya hutan tropis, tim ilmuwan internasional menemukan hanya empat negara yang menjadi biang kerok: Brasil, Indonesia, Ghana, dan Suriname.
Bersama-sama, empat negara kaya hutan itu menyumbang 80 persen deforestasi tropis yang disebabkan oleh operasi penambangan skala besar dari tahun 2000 hingga 2019.
Lebih dari setengah deforestasi tropis yang disebabkan oleh pertambangan industri dalam dua dekade terakhir terjadi di Indonesia, kata para penulis.
Di seluruh Indonesia, sekitar 1.901 km persegi hutan ditebang untuk pertambangan industri.
Area itu luasnya tiga kali lipat dari luas ibukota Jakarta. Ekspansi tambang batu bara di pulau Kalimantan dipandang menjadi pendorong utama.
Sementara setidaknya 70 persen deforestasi dilakukan untuk membuka lahan untuk pertanian, para ilmuwan menyebut pertambangan industri sebagai kekhawatiran yang makin menjadi momok karena meningkatnya selera global untuk mineral yang digunakan dalam teknologi energi bersih untuk memerangi perubahan iklim.
Baca Juga: Deforestasi Hutan Amazon di Brazil Melonjak, Terburuk dalam 15 Tahun Terakhir
Penelitian itu menyimpulkan, “Di Indonesia, laju deforestasi tertinggi diamati selama tahun 2010 hingga 2014, periode yang ditandai dengan dua kali lipat volume produksi batubara, terutama didorong oleh permintaan dari China dan India. Sistem tata kelola yang terfragmentasi dan buram dalam mengeluarkan lisensi ekstraksi batubara baru telah memfasilitasi perkembangan ini. Reformasi kelembagaan setelah tahun 2014 menerapkan batasan pada tingkat pertumbuhan ekstraksi batubara, yang hasilnya memperlambat deforestasi langsung."
"Transisi energi akan membutuhkan sejumlah besar mineral, seperti tembaga, lithium, kobalt, untuk teknologi dekarbonisasi," kata rekan penulis Anthony Bebbington, seorang ahli geografi di Clark University di Massachusetts.
"Kita membutuhkan lebih banyak alat perencanaan di pihak pemerintah dan perusahaan untuk mengurangi dampak penambangan terhadap hilangnya hutan." Tambah Bebbington.
Tambang di seluruh dunia mengekstrak lebih dari dua kali jumlah bahan baku daripada yang mereka lakukan pada tahun 2000, kata studi tersebut.
Untuk penelitian ini, para peneliti mempelajari citra satelit global dan data pelacakan hilangnya hutan di samping informasi lokasi untuk operasi pertambangan skala industri dari dua dekade terakhir.
Studi ini tidak mengukur dampak dari pertambangan skala kecil dan artisanal, yang juga dapat menjadi tantangan karena polusi tidak diatur pada pertambangan tersebut.
Secara keseluruhan, ada 26 negara yang bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi tropis dunia sejak tahun 2000.
Baca Juga: COP26: Jokowi dan 100 Lebih Pemimpin Negara Janji Hentikan Deforestasi per 2030
Namun di sekitar lokasi pertambangan industri, empat negara mendominasi.
Kerugian terbesar terjadi di Indonesia, di mana tambang batu bara di pulau Kalimantan diperluas untuk memenuhi permintaan bahan bakar dari China dan India.
Ghana dan Suriname juga menunjukkan tingkat deforestasi yang tinggi di sekitar tambang emas dan bauksit yang mengirimkan bahan yang digunakan dalam aluminium dan produk lainnya.
Di Brasil, ekstraksi emas dan bijih besi mendorong deforestasi pertambangan.
Operasi penambangan seringkali membuka hutan untuk memberi ruang bagi perluasan lokasi ekstraksi dan fasilitas penyimpanan tailing, serta untuk membangun jalan akses dan pemukiman bagi para penambang.
Kegiatan pembangunan dan pengembangan jalan seringkali tidak termasuk dalam penilaian dampak lingkungan, yang dilakukan sebelum tambang disetujui, kata insinyur lingkungan Juliana Siqueira-Gay di lembaga nirlaba berkelanjutan Instituto Escolhas di Brasil, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Sumber : Kompas TV/Straits Times/Proceedings of the National Academy of Sciences
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.