DNIPRO, KOMPAS.TV - Setelah gagal merebut Kiev, Rusia menggunakan pendekatan berbeda untuk memenangi pertempuran Donbass. Moskow cenderung mengandalkan serangan artileri untuk melumat pasukan Ukraina sejak memulai operasi Donbass pada pertengahan April lalu.
Menurut laporan The New York Times, 10 Juni lalu, seorang penasihat komando militer Ukraina mengeklaim Rusia menembakkan 60.000 peluru artileri dan roket per hari dalam pertempuran Donbass.
Sebaliknya, Kiev yang memiliki sumber daya lebih kerdil, “hanya” menembakkan 5.000-6.000 peluru artileri per hari.
Alhasil, korban jiwa terus berjatuhan di pihak Ukraina. Pada Sabtu (19/6), The Guardian melaporkan bahwa jumlah korban jiwa di pihak Ukraina akibat artileri bisa mencapai 200 serdadu per hari. Jumlah korban luka pun diperkirakan sekitar 800 orang.
Di garis depan Donbass, pasukan Ukraina dilaporkan mesti bertahan di jejaring parit dengan sedikit harapan. Setiap saat peluru artileri dapat menghujani mereka. Tak ada kesempatan membalas, posisi baterai artileri terlalu jauh dari jangkauan senapan.
Baca Juga: Pertempuran Donbass Dapat Menentukan Akhir Perang Rusia-Ukraina
Cerita seperti demikian menimpa Oleksandr, relawan militer berusia 36 tahun. Sebelum perang meletus, ia bekerja sebagai teknisi listrik di Gdansk, Polandia.
Kemudian, ia mendaftar ke pasukan pertahanan Ukraina lalu diposkan di suatu parit setinggi dada orang dewasa dalam pertempuran Donbass pada 10 Mei.
Perang Oleksandr hanya berlangsung seminggu. Ledakan artileri membuatnya terbaring di rumah sakit sebulan belakangan.
“Kami selalu ditembaki (artileri) sehari penuh. Tidak ada 10 menit pun terlewat tanpa serangan Rusia. Setiap hari satu orang terbunuh dan yang lain terluka. Benar-benar kekalahan yang besar,” kata Oleksandr kepada The Guardian.
Total, Oleksandr hanya menghabiskan enam hari di medan perang. Pada 16 Mei, perangnya telah selesai.
Ketika berjaga di dekat Avdiivka, Donbass, sebuah drone Rusia melayang di atas posisi Oleksandr. Pasukan Rusia tahu lokasinya. Tak lama kemudian, hujan artileri menggempur.
Oleksandr merasa lengan kanannya seperti “disambit batu.” Namun, setelah memeriksa, apa yang terjadi jauh lebih buruk.
“Saya melihat ke lengan saya dan coba menggerakkan tangan. Ia tak bisa bergerak, cuma menggantung,” kata Oleksandr.
Dengan terburu-buru, Oleksandr membebat turniket ke lengannya dan mundur dari garis pertahanan.
Baca Juga: Ukraina Akui Makin Kehilangan Wilayah Desa di Sekitar Sievierodonetsk
Oleksandr kemudian dilarikan ke Dnipro, sekitar empat jam perjalanan darat dari Avdiivka. Dokter memasangi lengan kanannya dengan empat pin untuk menyambung perancah.
Oleksandr menyampaikan, tembakan senjata berat Ukraina hanya “satu berbanding 10” dari Rusia. Sepengakuannya, pasukan Ukraina sepertinya hampir tak punya harapan melawan balik.
Senapannya tak mampu menjangkau unit artileri, Rusia pun tak kunjung menerjunkan pasukan darat untuk merebut wilayah yang dijaganya.
“Tak ada orang untuk ditembak,” katanya.
Kondisi itu membuat Oleksandr merasa hanya mengemban satu misi: berjaga di garis pertahanan, berupaya bertahan hidup di tengah teror ledakan.
“Saya memakai helm setiap waktu. Dan saya yakin, kapan pun saya melepasnya, rambut saya akan beruban semua,” kata Oleksandr.
Baca Juga: Pasukan Rusia Perketat Kepungan di Dua Kota Strategis Ukraina Timur
Meskipun demikian, Oleksandr dan serdadu-serdadu lain di rumah sakit Dnipro mengaku masih punya semangat tempur. Namun, cerita-cerita mereka di medan perang juga mencerminkan kondisi menyedihkan pasukan pertahanan.
Isu senjata berat pun semakin genting dibicarakan Kiev. Presiden Volodymyr Zelenskyy dan jajarannya berulang kali meminta Barat menggenjot pasokan senjata berat dan tank.
Amerika Serikat (AS) telah merespons dengan berjanji mengirimkan lebih banyak artileri howitzer M777. Artileri kaliber NATO ini cukup canggih untuk menyaingi kekuatan baterai artileri Rusia dan menambah semangat tempur pasukan Ukraina.
Akan tetapi, secara kuantitas, 108 M777 howitzer kiriman Washington jauh dari cukup. Sejumlah petinggi Kiev memperkirakan Ukraina butuh 1.000 unit artileri semacam untuk mendepak Rusia dari Donbass.
Gap yang terlalu jauh tersebut mencerminkan keterburuan dan kegentingan yang dihadapi Ukraina, memunculkan pertanyaan apakah Kiev masih bisa menanggung 20.000 korban per bulan untuk mempertahankan diri.
Tak hanya dari segi perlengkapan, perekrutan terburu-buru personel militer Ukraina juga menunjukkan situasi genting yang membayangi Kiev. Banyak relawan tempur sekadar mendapat latihan dasar seadanya, kemudian ditempa lebih jauh di medan perang sesungguhnya.
Nikolai, mantan pegawai rumah sakit berusia 60 tahun, mengaku “dilatih” di medan tempur usai mendaftarkan diri ke pasukan pertahanan Ukraina di Kiev pada Februari lalu.
“Kami tidak punya waktu untuk menjadi tentara sesungguhnya. Benar-benar tidak ada waktu karena mereka (Rusia) bergerak langsung dari Belarusia ke Kiev. Kami dilatih dalam perjalanan, dan pada dasarnya mendapat pengalaman dalam pertempuran betulan,” kata Nikolai.
Setelah melalui pertempuran Kiev, Nikolai dipindahtugaskan ke front selatan di sekitar Huliaipole, 50 kilometer dari ibu kota Oblast Zaporizhzia.
Garnisun Huliaipole terhitung menghadapi pertempuran berskala kecil. Namun, jumlah korban jiwa tetaplah besar.
“Dari satu unit berjumlah 20 (serdadu), 15 orang terluka karena serangan artileri, satu ditangkap, dan satu terbunuh,” kata Nikolai mengisahkan unit tempurnya.
Salah satu yang terluka akibat serangan artileri adalah Nikolai sendiri. Serpihan peluru artileri menimbulkan luka serius di lengan kanan bawahnya.
Baca Juga: Kisah Remaja yang Bantu Ukraina Mengintai Tentara Rusia
“Kami sedang menggali parit selama kurang-lebih 40 menit, lalu ada desing tembakan yang diikuti ledakan. Saya mencoba melindungi diri dengan kedua lengan, tetapi lengan kanan saya terkena."
"Saya sadar menderita luka serius karena saya tidak bisa memotong lengan baju saya untuk menerapkan pertolongan pertama,” kata Nikolai.
“Lalu, saya menunggu evakuasi, satu tembakan menembus pipi saya. Itu tembus, menyerempet sebatang arteri,” sambungnya.
Awalnya, Nikolai yakin dia akan selamat. Namun, butuh evakuasi tiga jam hingga dia benar-benar aman untuk menemui paramamedis. Kehilangan darah membuatnya pelan-pelan kehilangan kesadaran.
“Saya mulai berpikir bahwa saya mungkin akan mati,” kata Nikolai.
Walaupun pengalaman hampir mati masih membekas di benak Nikolai dan Oleksandr, keduanya sepaham bahwa mereka telah melakukan “hal yang benar.”
Nikolai menegaskan perjuangan Ukraina melawan invasi Rusia itu penting. Ia mengaku bergabung ke relawan pertahanan agar anaknya yang sudah dewasa, Dima, kini tinggal di Southampton, Inggris Raya, tidak perlu pulang untuk bertempur.
“Saya ingin generasi saya bertempur jadi anak-anak saya bisa merawat cucu-cucu saya dan hidup dalam damai,” kata Nikolai.
Sementara bagi Oleksandr, ia tak mau menjawab apakah mau mengulangi situasi terjebak di tengah parit menghadapi hujan artileri Rusia.
Akan tetapi, ketika ditanya apakah bersedia terjun ke medan perang lagi, Oleksandr dengan tegas menjawab: “Ya. Tak ada keraguan. Siapa lagi yang akan melakukannya?”
Baca Juga: Keluhan Tentara Ukraina di Garis Depan: Kami Butuh Senjata ‘Serius’ dan Tank!
Sumber : Kompas TV/The Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.