MARIUPOL, KOMPAS.TV – Ratusan warga berdesakan di basemen atau ruang bawah tanah sebuah gedung publik di Mariupol, kota pelabuhan Ukraina yang kini dikepung tentara Rusia. Mereka kehabisan makanan dan butuh bantuan medis urgen.
“Beberapa bahkan mengalami radang dan keracunan darah karena terkena pecahan peluru,” ujar Anastasiya Ponomareva, 39 tahun, seorang guru yang berhasil melarikan diri dari Mariupol saat awal perang.
“Situasinya sangat gawat,” imbuh Ponomareva yang masih berkontak dengan teman-temannya di Mariupol.
Dikepung tentara Rusia, Mariupol terus dibombardir nonstop. Hampir 400.000 orang terjebak di kota itu tanpa air bersih, dan makanan serta pasokan medis menipis dengan cepat.
Baca Juga: Tiga Pemimpin Negara Uni Eropa Sudah dalam Perjalanan ke Kiev Ukraina Naik Kereta Api, Sungguh Nekat
Melansir BBC pada Selasa (15/3/2022), otoritas setempat menyatakan setidaknya 2.400 warga sipil telah tewas. Namun, mereka memperkirakan, jumlah sebenarnya jauh lebih besar.
“Orang-orang yang berhasil berlindung di bawah tanah pada dasarnya tinggal di sana secara permanen,” kata Ponomareva yang kini tinggal di Drohobych di barat Ukraina.
“(Karena) mereka secara praktis tak bisa meninggalkan (basemen) sama sekali.”
Teman-teman Ponomareva pun tinggal di basemen bersama dengan keluarga-keluarga Ukraina yang lain. Semua meninggalkan rumah yang kini tak lagi aman, atau bahkan tak lagi berdiri.
Sebagian besar waktu dihabiskan dengan bersembunyi di basemen. Dari waktu ke waktu, mereka pergi ke lantai atas untuk mencari secercah sinar matahari. Namun, untuk pergi keluar, terbilang jarang. Kondisi di Mariupol, kata teman-teman Ponomareva, memburuk dengan cepat.
Sejumlah orang mengalami demam parah, dan tak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. “Tak ada bantuan medis, tak ada antibiotik,” ujar Ponomareva.
Baca Juga: Stasiun Kereta Api Kiev Jadi Saksi Bisu Pahitnya Perang
Sejumlah ruas jalan sangat berbahaya, hingga hanya sedikit yang berani melintas untuk mengambil mayat sesama mereka. Banyak yang dikubur di dua kuburan massal yang ada di Mariupol.
Serangan artileri nyaris nonstop telah mengubah kawasan tempat tinggal mereka hancur lebur.
“Di sisi kiri sungai, tak ada gedung pemukiman yang utuh, semua terbakar dan rata dengan tanah,” kata Ponomareva. “Pusat kota bahkan tak bisa dikenali lagi.”
Serhii Kozyrkov, 40 tahun, seorang pastor yang meninggalkan Mariupol dua pekan lalu, juga berbagi cerita.
“Sangat sesak dan makanan tak cukup,” ujar Kozyrkov yang kini di Lviv.
“Orang-orang jatuh sakit karena sangat dingin dan semua berjejer seperti ikan pindang.”
Suhu malam hari di Mariupol dilaporkan bisa merosot hingga minus 5 derajat Celsius.
Ia masih berhubungan dengan satu keluarga yang terperangkap di basemen di Mariupol. Mereka, katanya, putus asa untuk meninggalkan kota itu.
Pada Senin (14/3), konvoi sekitar 160 mobil warga berhasil keluar dari Mariupol. Itu tampaknya upaya evakuasi pertama yang berhasil setelah beberapa upaya serupa gagal karena buyarnya gencatan senjata yang telah disepakati.
Namun, tak ada bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Mariupol.
“Situasinya mengerikan. Tak ada cukup makanan, air, obat-obatan, insulin, makanan bayi. Semua orang punya kebutuhan spesifik,” ujar Sergei Orlov, wakil wali kota Mariupol.
“Kami menerima banyak telepon membutuhkan bantuan. Ada ibu yang anaknya hampir mati kelaparan. Ada lagi yang terjebak di basemen minta dijemput.”
“Sayangnya, kami tak bisa melakukan apa-apa,” imbuhnya lesu.
Baca Juga: Heroik, Tukang Roti Ukraina Bagikan Roti Gratis ke Warga di Kota yang Dikuasai Tentara Rusia
Menurut Orlov, mobil-mobil pengangkut pasokan telah menanti selama empat hari, namun tentara Rusia tak memperbolehkan mereka masuk.
Dikepung bombardir nonstop tentara Rusia, sudah 13 hari warga Mariupol hidup tanpa listrik, air bersih dan gas.
Di basemen tempat berlindung warga, ada sebuah generator tempat mereka mengecas ponsel. Dari waktu ke waktu, warga pergi keluar untuk menelepon, lantaran tak ada sinyal di basemen.
Suara ledakan bertubi-tubi, dapat didengar oleh para warga yang berlindung di basemen.
“Bombardir tak berhenti. Mereka sangat ketakutan,” kata Kozyrkov.
“Orang-orang butuh koridor kemanusiaan (untuk dievakuasi),” kata Ponomareva.
“Kalau tidak, mereka akan mati pelan-pelan karena kelaparan dan kehausan.”
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.