JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, kasus korupsi impor minyak mentah yang melibatkan petinggi sejumlah subholding Pertamina sangat merugikan masyarakat.
Pasalnya, salah satu modus yang dilakukan para tersangka adalah upgrade blending BBM dari Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92).
Modus lainnya adalah minyak mentah produksi dalam negeri ditolak diolah di kilang Pertamina dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai dengan kualifikasi Kilang Pertamina, sehingga harus impor minyak mentah untuk diolah di kilang dalam negeri.
"Dengan alasan kapasitas kilang tidak memenuhi, maka BBM masih harus impor dalam jumlah besar. Harga impor minyak mentah dan BBM itu telah di-markup sehingga merugikan keuangan negara yang harus membayar impor tersebut lebih mahal," kata Fahmy dalam keterangannya kepada Kompas.tv, Selasa (25/2/2025).
Penggelembungan harga juga dilakukan pada kontrak pengiriman (shipping), dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13 persen hingga 15 persen.
Fahmy menyebut, tindak pidana korupsi itu tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga merugikan masyarakat.
"Merugiakn masyarakat sebagai konsumen BBM, yang membayar harga Pertamax namun yang diperoleh Pertalite yang harganya lebih murah," ujarnya.
Menurutnya, agar perampokan itu tidak terulang kembali, aparat hukum harus mengganjar hukuman seberat-beratnya bagi tersangka.
Lalu Pertamina harus melakukan operasi pembersihan besar-besaran terhadap oknum mafia migas yang masih ada di lingkungannya.
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto harus menjadi Panglima dalam Pemberantasan Mafia Migas.
Fahmy mengatakan, mafia migas melibatkan banyak pihak yang saling bersekongkol.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.