Singapura disebut sejumlah kalangan sebagai tempat persinggahan para koruptor yang melarikan diri dari jerat hukum di Indonesia.
Hal ini berdasarkan sejumlah kasus di mana pelakunya sempat ke negara tersebut setelah ditetapkan sebagai tersangka atau divonis kasus korupsi.
Misalnya, Djoko Tjandra dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Gayus Tambunan pada kasus mafia pajak, M. Nazaruddin buronan korupsi wisma atlet, Nunun Nurbaeti yang tersangkut suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia, dan Mauria Pauline Lumowa yang pernah membobol kas BNI sebesar Rp1,7 triliun.
Tersangka korupsi lain yang belum ditangkap dan diduga masih berada di Singapura di antaranya Paulus Tanos (korupsi e-KTP) dan Bambang Sutrisno yang telah divonis dalam kasus korupsi BLBI.
Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri, Effendi Simbolon mengatakan masih akan mendalami isi perjanjian antara pemerintah Indonesia-Singapura.
"Senin (31/01), kami ada rapat kerja dengan Menlu [Menteri Luar Negeri Retno Marsudi]. Kita juga ingin mendapat penjelasan juga, seluas-luasnya, resmi dari pemerintah," kata anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Effendi kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/01).
Effendi masih sangsi perjanjian ekstradisi yang diikuti dengan kesepakatan kawasan informasi penerbangan (flight information region/FIR) kedua negara, benar-benar akan menguntungkan Indonesia.
"Apa iya selugu itu Singapura? Sepertinya mereka kayak negara yang dengan pasrah, lepas pengusahaan, flight information region yang dari zaman ke zaman mereka kuasai kan," katanya.
Hal senada diungkapkan anggota komisi I DPR dari fraksi PKS, Sukamta.
Ia akan melakukan pencermatan atas kesepakatan perjanjian kerjasama pertahanan keamanan yang juga menjadi agenda dalam pertemuan di Pulau Bintan tersebut.
"Kami mendengar dalam kesepakatan kerja sama Singapura mengajukan hak menggelar latihan tempur di perairan Indonesia dan juga latihan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Tentu ini perlu dicermati terkait potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia," katanya.
Seperti diketahui, ratifikasi RUU perjanjian ekstradisi yang disepakati pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2007 dengan Singapura, pernah gagal. Saat itu, DPR menolak perjanjian yang diikuti dengan kerjasama pertahanan keamanan yang dianggap bisa menjadi ancaman kedaulatan Indonesia.
Bagaimanapun Sukamta meyakini ratifikasi perjanjian ekstradisi dan kerjasama lainnya dengan Singapura di era Joko Widodo akan berjalan mulus.
"Saat ini hampir semua RUU usulan pemerintah diamini dan disetujui DPR. Namun demikian tentu pencermatan atas pasal-pasal perjanjian penting untuk dilakukan," katanya.
Saat ini pemerintah dan DPR harus berpacu dengan waktu untuk segera menangkap para koruptor yang menjadi sasaran penegak hukum. Jika kalah cepat, maka "para koruptor kita masih bisa berleha-leha di luar negeri," kata Pakar Hukum Internasional, Teuku Rezasyah.
Ia memperkirakan ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan selesai paling cepat satu tahun ke depan.
"Paket ekstradisi, pertahanan, dan FIR ini akan melibatkan komisi-komisi dalam DPR. Semoga mereka itu tidak terkendala dengan pemilu, dengan pilpres, pilkada serentak 2024," kata Rezasyah kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/01).
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya persiapan teknis untuk menyambut pelaksanaan ekstradisi dengan Singapura. Seperti pembuatan "big data intelijen" yang memuat semua informasi terkait dengan kasus kejahatan keuangan yang ada di Indonesia dan Singapura.
Kata Rezasyah, ekstradisi bukan hanya upaya untuk menangkap koruptor, tapi bagaimana bisa memboyong aset dan uang hasil korupsi yang diamankan di Singapura ke Indonesia.
"Tapi yang namanya duit itu kan enggak mengenal paspor. Duit itu bisa lari ke mana pun, karena para pelaku kejahatan keuangan itu, biasanya punya paspor yang kedua," kata Rezasyah.
Sambil menunggu ratifikasi perjanjian ekstradisi oleh DPR, ia menyerukan agar pemerintah membuat pernyataan ke Singapura untuk menahan koruptor yang masih buron, dan membekukan aset mereka.
"Jangan sampai keputusan yang dibuat di Riau itu hanya sebatas statement, ini akan mencederai presiden juga," kata Rezasyah.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.