Kecam DPR yang Membangkangi Konstitusi, GUSDURian Galang Dukungan Penyelamatan Demokrasi
Politik | 22 Agustus 2024, 09:34 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Jaringan GUSDURian mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melakukan pembangkangan konstitusi dan membahayakan kedaulatan hukum.
Oleh karena itu, Jaringan GUSDURian meminta pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Pilkada.
Demikian Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas TV, Kamis (22/8/2024).
“Menyerukan para elite politik, para ketua umum partai dan para pimpinannya untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompoknya,” ucap Alissa.
Selain itu, Alissa juga menyerukan kepada seluruh tokoh agama, jejaring masyarakat sipil, elemen mahasiswa, akademisi, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya, untuk melakukan konsolidasi nasional terkait upaya penyelamatan demokrasi dan konstitusi.
Baca Juga: Ini Momen Jokowi Ogah Sebut Nama Gibran saat Sambutan di Penutupan Munas XI Partai Golkar
“Meminta kepada seluruh penggerak dan komunitas GUSDURian yang ada di lebih dari 100 kota untuk melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan masyarakat luas sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi,” tegas Alissa.
Sebelumnya, 20 Agustus 2024 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap Undang-Undang Pilkada.
Dalam putusannya, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD.
MK juga memutuskan bahwa usia cagub dan cawagub harus berumur 30 tahun saat penetapan calon.
Setelah putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mengadakan rapat mengenai revisi UU Pilkada yang dilakukan secara mendadak sehari setelah MK membacakan keputusannya.
Badan Legislatif (Baleg) melakukan manuver dengan mengabaikan putusan MK dan justru merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki perbedaan substantif dengan putusan MK.
Menurut Alissa, dua poin penting yang diabaikan oleh DPR dari putusan MK adalah terkait pengajuan calon kepala daerah dan batas usia calon.
Baca Juga: SETARA soal Revisi UU Pilkada 7 Jam: Membangkangi Putusan MK dan Akal-akalan DPR
“Dalam revisi UU Pilkada, DPR membuat syarat pencalonan kepala daerah bagi partai politik yang memiliki kursi di tingkat DPRD minimal harus memiliki perolehan 20% kursi atau 25% suara di Pileg. Sementara terkait usia calon, DPR menetapkan usia 30 tahun adalah pada saat pelantikan,” jelas Alissa.
“Syarat pengajuan calon berpotensi membuat Pilkada 2024 mengalami berbagai masalah, mulai banyaknya kotak kosong (di lebih dari 150 daerah), persekongkolan politik, dan lain sebagainya. Pilkada yang semestinya digunakan untuk memilih pemimpin rakyat hanya menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat,” imbuhnya.
Sementara itu, sambung Alissa, syarat usia pencalonan diduga merupakan upaya untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga anak bungsu Presiden Joko Widodo Kaesang Pengarep yang saat ini masih berusia 29 tahun.
“Jika keputusan MK yang dijalankan, maka Kaesang tidak bisa mendaftar karena pada saat pendaftaran usianya masih 29 tahun. Sementara revisi UU Pilkada yang merujuk keputusan MA memungkinkan Kaesang mendaftar karena jika terpilih pada Pilkada mendatang, ia akan ditetapkan pada usia 30 tahun,” jelas Alissa.
“Hal tersebut merupakan bentuk korupsi pada tatanan konstitusi yang berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan,” katanya.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV