KPK Harap Para Menteri di Pemerintahan Mendatang Patuh Laporkan LHKPN, Copot jika Tidak 100 Persen
Hukum | 23 April 2024, 22:17 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap menteri yang ditunjuk presiden dan wakil presiden terpilih memiliki integritas terhadap pemberantasan korupsi.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan menjelaskan, salah satu pencegahan tindak pidana korupsi yakni patuh melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN.
Menurutnya Presiden terpilih bisa memanggil menteri yang tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan.
Tak hanya menteri, pejabat di lembaga yang dipimpin juga harus tertib LHKPN.
Jika diketahui kementerian atau lembaga yang dipimpin tidak patuh melaporkan harta kekayaan, menteri tersebut perlu diberi sanksi, atau jika perlu diberhentikan dari jabatananya.
"Kalau dia, instansinya, kementeriannya enggak capai 100 persen (tingkat kepatuhan) LHKPN tegur menterinya. Kalau enggak menterinya copot," ujar Pahala di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/4/2024) dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: Lawan KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Ajukan Praperadilan atas Status Tersangka Korupsi
Pahala menambahkan, pihaknya juga tidak akan memberikan catatan terhadap calon menteri yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, atau punya rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi.
Ia tidak ingin kontroversi pena penyorot dengan alat tulis stabilo berwarna merah dan kuning di 2014 terulang kembali.
Kala itu Presiden Joko Widodo meminta KPK untuk memberi penilaian terhadap para calon menteri untuk Kabinet Kerja.
KPK yang saat itu dipimpin oleh Abraham Samad memberikan penilaian dengan cara memberi stabilo merah dan kuning ke nama-nama calon menteri di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla.
Menurut Pahala langkah itu sama saja sudah memvonis seseorang tanpa melalui proses hukum.
Jika memang orang-orang yang masuk dalam bursa calon menteri memiliki riwayat korupsi, sambung Pahala, seharusnya diproses hukum, bukan hanya ditandai dengan stabilo.
Baca Juga: Hingga Batas Akhir, KPK Catat 14.072 Penyelenggara Negara Belum Lapor LHKPN
Bahkan, Pahala menilai, cara menandai nama seseorang yang diduga memiliki rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi merupakan pelanggaran hukum dan masuk kategori pidana.
"Kalau dibilang ukurannya normatif boleh, tapi kan ini pidana salah atau enggak. Dengan stabilo artinya kamu bersalah, kalau bersalah kan udah ada jalurnya, ambil orangnya. Jangan stabilo-stabilo," ujar Pahala.
"Saya yakin pimpinan yang baru enggak tertarik ya men-stabilo. Karena kan mereka juga mau habis ya (masa jabatan) delapan bulan lagi," imbuhnya.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV/Kompas.com