Pakar Pidana Sebut Amicus Curiae Cerminan Paling Jujur dari Terusiknya Rasa Keadilan Masyarakat
Hukum | 9 Februari 2023, 06:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Pakar hukum pidana Albert Aries menilai amicus curiae yang diajukan oleh Aliansi Akademisi Indonesia merupakan cerminan paling jujur dari terusiknya rasa keadilan masyarakat.
Aliansi Akademisi Indonesia dibentuk oleh 122 akademisi yang mengajukan amicus curiae ke pengadilan untuk Richard Eliezer, terdakwa pembunuhan Yosua Hutabarat.
Albert menyebut dirinya setuju dengan pernyataan mantan hakim agung Djoko Sarwoko, bahwa hakim wajib menggali dan memahami rasa keadilan di masyarakat.
“Bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat,” tuturnya dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (8/2/2023).
“Jadi, kalau boleh menyimpulkan, apa yang dilakukan oleh Bang Todung Mulya Lubis, amicus curiae, mungkin adalah cerminan paling jujur dari terusiknya rasa keadilan di masyarakat.”
Jika lebih masuk ke dalam substansi perkara, dalam hal ini pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat, lanjut dia, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa para terdakwa dengan Pasal 55 ayat 1 kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan Pasal 55 ayat 1 kedua.
Baca Juga: Jelang Sidang Vonis Pekan Depan, Eliezer Tertekan dan Alami Perubahan Pola Tidur!
Itu berarti, hanya ada tiga kemungkinan bentuk penyertaan perbuatan pidana dalam perkara tersebut.
“Jangan lupa bahwa jaksa penuntut umum mendakwa seluruh terdakwa dengan Pasal 55 ayat 1 kesatu, bukan Pasal 55 ayat 1 kedua.”
“Artinya apa? Hanya ada tiga kemungkinan bentuk penyertaan dalam perkara ini,” tegasnya.
Pertama, kata dia, adalah orang yang melakukan. Kedua, orang yang turut melakukan, dan ketiga adalah orang yang menyuruh melakukan atau doenpleger.
“Dari referensi dan literatur hukum pidana yang saya miliki, orang yang disuruh melakukan hanya merupakan alat yang tidak memiliki niat, tidak memiliki kehendak,” tuturnya.
“Maka berlakulah asas geen straf zonder schuld, tiada pidana tanpa kesalahan.”
Ia membenarkan bahwa terdakwa Richard Eliezer terbukti turut membunuh. Namun, ada alasan untuk menghapus pidananya.
“Tapi ada alasan menghapus pidana berupa perintah jabatan yang lahir karena relasi kuasa yang begitu kuat, sehingga tidak memungkinkan seorang Richard Eliezer untuk menolak perintah dari seorang Ferdy Sambo.”
Sebelumnya, dalam dialog yang sama, mantan hakim agung Djoko Sarwoko menilai bahwa Richard Eliezer, terdakwa kasus dugaan pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat, melaksanakan perintah jabatan.
Menurutnya, dalam Pasal 51 ayat 1 KUHP, seseorang yang melaksanakan perintah jabatan tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
‘Sebenarnya kalau hakim mau mencermati apa yang diperoleh dalam fakta persidangan, itu kan jelas sekali, posisi Eliezer itu, yang pertama adalah melaksanakan perintah jabatan, Pasal 51 ayat 1 KUHP, itu malah di situ, tidak bertanggung jawab,” urainya.
Bukan hanya melaksanakan perintah jabatan, menurut Djoko, Richard juga berstatus sebagai justice collaborator, yang hukumannya harus lebih ringan daripada pelaku lain.
“Kedua, dia sebagai justice collaborator, yang menurut undang-undang perlindungan saksi dan korban, ini ada semacam prestasinya kalau dia ikut membongkar perkara itu.”
Baca Juga: Percuma, Richard Eliezer Tak Dianggap Justice Collaborator? | Livi On Point
“Kemudian Mahkamah Agung pada tahun 2012 menerbitkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011, yang mengatakan bahwa justice collaborator itu pidananyan harus lebih ringan daripada pelaku yang lain,” urainya menegaskan.
Richard Eliezer, menurut Djoko, memenuhi syarat sebagai justice collaborator, karena dalam pandangannya, Richard bukan sebagai pelaku utama.
“Salah satu persyaratannya yang bisa jadi justice collaborator adalah bukan pelaku utama. Dalam kasus ini, menurut saya, Eliezer bukan pelaku utama,” tuturnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV