15 Persen Angkatan Kerja Dunia Alami Gangguan Mental: Naik selama Pandemi, Turunkan Produktivitas
Sosial | 11 Oktober 2022, 19:19 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Jumlah pengidap gangguan kecemasan dan depresi diperkirakan meningkat pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19 melanda. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pengidap gangguan mental tersebut naik sebanyak 25 persen pada tahun pertama pandemi.
Gangguan mental pun dapat berdampak ke produktivitas kerja. Bahkan, sebagaimana dilansir Harian Kompas, depresi dan kecemasan menimbulkan kerugian ekonomi senilai 1 triliun dolar AS per tahun secara global. Kerugian ini umumnya terkait penurunan produktivitas.
Gangguan mental sendiri kerap menyasar penduduk usia produktif. WHO mencatat, terdapat 15 persen penduduk usia kerja di dunia yang mengalami gangguan mental.
Problem kejiwaan pun dapat memengaruhi identitas serta kepercayan diri individu di tempat kerja. Depresi dan kecemasan diperkirakan menghilangkan 12 miliar hari kerja per tahun.
Baca Juga: Hari Kesehatan Mental Dunia, Berikut Daftar Negara yang Tingkat Kesehatan Mentalnya Terburuk
Psikolog Anna Surti Ariani menyebut situasi pandemi berkelindan dengan tekanan yang dirasakan individu. Sebagian orang merasa dituntut untuk segera mendapatkan pekerjaan, tetapi kesulitan karena pandemi.
Penduduk yang sudah bekerja pun tak jarang tertekan oleh urusan pekerjaan. Ini juga belum termasuk tekanan lain yang dapat dirasakan indidivud, seperti beban ekonomi keluarga atau kedukaan.
”Tekanannya besar, sementara sarana mengekspresikan kemarahan hingga kekesalan mengecil selama pandemi,” kata Anna dikutip Harian Kompas, Senin (10/10).
Sementara itu, menurut survei U-Report Indonesia yang diterbitkan pada Agustus 2020, sebanyak 53 persen dari 638 responden berusia 0-24 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sebanyak 53 persen responden juga merasa tertekan untuk menjadi produktif di tengah pandemi.
Tekanan-tekanan itu umumnya datang dari orang tua (38%), orang lain (29%), guru (14%), teman (12%), dan saudara (6%).
Problem gangguan mental kepada angkatan kerja sendiri sudah tercermin dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebelum pandemi melanda. Menurut
Riskesdas 2018, lebih dari 19 juta penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami depresi.
Salah satu pekerja yang kerap merasa stres karena tuntutan pekerjaan adalah Nugraha Riyadi, pemuda 23 tahun asal Jakarta. Ia mengaku stres memengaruhi kinerjanya, sekaligus membuatnya lelah secara mental.
”Hampir burned out, waktu itu sudah sampai di fase ’bodo amat deh kerjaan gak bagus-bagus amat jadinya yang penting beres tepat waktu’ tapi belum sampai di fase gak mau ngapa-ngapain lagi,” kata Nugraha.
Bekerja sejak awal 2022, Nugraha mengaku stres terkait pekerjaan memperparah kondisi kesehatan mentalnya. Ia sempat hendak mengakses layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan setempat, tetapi mengurungkan niat karena stigma negatif terhadap orang dengan gangguan kesehatan jiwa.
Selain isu stigma, kesenjangan penanganan kesehatan jiwa yang masih terlalu lebar di Asia Tenggara menjadi problem tersendiri. Direktur Regional WHO Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh menyebut kesenjangan penanganan kesehatan jiwa di kawasan ini mencapai 70-95%.
Untuk mengatasinya, negara-negara Asia Tenggara mengadopsi Deklarasi Paro pada September 2022 lalu. Deklarasi ini ditujukan untuk menyediakan akses layanan kesehatan mental yang universal.
”Deklarasi Paro bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang di kawasan (Asia Tenggara) dapat mengakses layanan kesehatan mental berkualitas, dekat dengan tempat tinggal mereka, dan tanpa kesulitan finansial," kata Singh.
"Hal ini menekankan pada kebutuhan untuk reorientasi dan integrasi layanan kesehatan mental pada layanan kesehatan primer, melengkapi strategi regional baru untuk layanan kesehatan primer yang diluncurkan pada Desember 2021,” lanjutnya.
Sementara itu, di tataran individual, Anna menyebut ketahanan individu dalam menghadapi tekanan menentukan kesehatan jiwa seseorang.
”Ketahanan itu tergantung banyak hal, misalnya inteligensi. Semakin banyak wawasan seseorang terkait penyelesaian masalah, ketahanannya pun semakin tinggi. Ketahanan juga dipengaruhi stabilitas emosi, kepercayaan diri, dan lingkungan sekitar,” kata Anna.
Baca Juga: Penyakit Jiwa Megalomania, Merasa Diri Paling Hebat dan Harus Dihormati yang Lain Tidak Ada Artinya
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Harian Kompas