Seperti Dibunuh, Sejarawan dan Mantan Ajudan Sebut Soekarno Tak Dapat Perawatan Memadai Jelang Wafat
Sosial | 4 Oktober 2021, 22:53 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, membeberkan kesaksian pada tahun-tahun terakhir Sang Proklamator hidup dalam tahanan di Wisma Yaso. Ia menyebut, Soekarno sakit tanpa mendapat perawatan memadai.
Sidarto menjadi ajudan Soekarno sepanjang satu tahun lebih sejak 6 Februari 1967 pasca Supersemar yang kontroversial. Ia ditarik dari tugas itu pada Mei 1968.
“Pada saat bulan-bulan terakhir mendampingi beliau, kondisi kesehatan Bung Karno memang mulai memburuk. Dan saya sampaikan pada Kapolri waktu itu bahwa yang diperlukan Bung Karno saat itu adalah dokter yang merawat, bukan ajudan lagi,” tutur Sidarto kepada KompasTV, Senin (4/10/2021).
Sidarto menyayangkan sikap rezim di bawah Suharto yang menahan Soekarno di Wisma Yaso. Bung Karno saat itu dijaga ketat dan dilarang berhubungan dengan dunia luar, termasuk keluarga dan kerabatnya.
Baca Juga: Resmikan Patung Soekarno, Megawati: di Masa Orde Baru, Bung Karno Tidak Diceritakan secara Benar
“Seorang Bung Karno, Bapak Bangsa yang perjuangannya kita kenal sejak muda, di ITB bagaimana dia menggugat pemerintah Belanda, masuk keluar penjara, pembuangan di Ende dan Bengkulu,” kata politikus PDI Perjuangan itu.
“Tapi, beliau harus berakhir dalam tahanan. Itu betul-betul suatu tragedi bagi sejarah kita,” imbuhnya.
Saat sakitnya tak kunjung sembuh, Soekarno mendapat perawatan di bawah koordinasi seorang dokter umum dari tentara, Mayor dr Suroyo.
Setelah tidak lagi bertugas sebagai ajudan Soekarno, Sidarto mendapat kabar soal kondisi sang Proklamator dari Profesor Mahar Mardjono, mantan rektor dan guru besar Neurologi Universitas Indonesia.
Ia juga mendapat pengakuan dari dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI. Menurut keduanya, Soekarno tidak mendapat obat-obatan yang dibutuhkan.
“Bung Karno hanya diberikan vitamin-vitamin. Padahal, beliau mengidap kelainan ginjal. Jadi, terus terang membutuhkan penanganan yang ekstra untuk merawat ginjalnya ini,” beber Sidarto.
Kabar serupa juga didengar oleh sejarawan Asvi Marwan Adam. Menurut Asvi, resep buatan Profesor Mahar untuk Soekarno tidak ditebus dan hanya disimpan di laci di Wisma Yaso.
“Obat yang seharusnya diberikan kepada beli dan dibuatkan resepnya oleh Profesor Mahar Mardjono, resep itu tidak ditebus. Jadi, dibiarkan saja resep itu di laci, obatnya tidak dibelikan,” kata Asvi kepada KompasTV.
Catatan para perawat juga menunjukkan, Soekarno hanya mendapat obat keras bernama Valium.
Baca Juga: Resmikan Patung Soekarno di Stasiun Tawang, Megawati Ungkap Bung Karno Pernah Kerja Jadi Pegawai KA
Melansir Webmd, valium adalah obat golongan psikotropik yang salah satunya digunakan untuk mengatasi kecemasan dan kejang.
“Kalau beliau tidak bisa tidur, diberi Valium, obat tidur yang sangat keras. Kemudian, diberikan vitamin-vitamin. Jadi, terbatas pada itu,” ujar Asvi.
Asvi mendengar dari keterangan dokter Kartono bahwa obat itu tidak tepat. Karena itu, sejarawan Prancis bernama Jacques Leclerc pada tahun 1970 menyebut Bung Karno dibunuh dua kali.
“Dibunuh yang pertama itu dalam arti beliau dirawat tidak sebagaimana mestinya. Itu saya konfirmasi dari dr Kartono Mohamad juga,” jelas Asvi.
“Kedua, pada tahun itu juga ajaran beliau dilarang. Peringatan Hari Lahir Pancasila itu dilarang Komkaptib sejak tahun 1970,” lanjutnya.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV