Buruh Tolak UU Cipta Kerja yang Diteken Jokowi, Ada Pasal Upah Murah yang Disisipkan?
Peristiwa | 3 November 2020, 10:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Dengan telah diundangkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja per tanggal 2 November, maka omnibus law UU Cipta Kerja sudah resmi berlaku.
Menanggapi hal itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak dan meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut.
Baca Juga: Buruh Tuntut Presiden Keluarkan Perppu dan Upah Minimum 2021 Tetap Naik
“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (3/11/2020).
Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat, lanjut Said Iqbal, setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh.
Di antara pasal yang merugikan kaum buruh itu, menurut hasil kajian KSPI terlihat adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh.
Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
"Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun," kata Iqbal.
Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah.
Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka.
Baca Juga: Kembali Demo, Buruh Minta Kenaikan UMP 8% dan Tolak UU Cipta Kerja
Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.
"Dihilangkannya UMSK dan UMSP itu sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk," kata Iqbal.
Itulah sebabnya, lanjut Iqbal, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.
Oleh karena itu KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan.
Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV