BREAKING NEWS - Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama Wafat pada Usia 88 Tahun
Peristiwa | 9 September 2020, 13:28 WIBMinat menulis Jakob tumbuh seiring dengan belajar sejarah. Kecintaannya dengan dunia jurnalistik tumbuh ketika mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur di Jakarta dan memutuskan berhenti mengajar pada 1956.
Jakob merasa bimbang apakah ingin menjadi wartawan profesional ataukah guru profesional. Kemudian Jakob menemui Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur.
Oudejans, Pastor tersebut menasihatinya bahwa guru sudah banyak namun wartawan tidak. Saat itulah yang menjadikan titik balik Jakob untuk fokus menggeluti dunia jurnalistik.
Pada awal 1960-an Jakob aktif menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia bersama Petrus Kanisiun (PK) Ojong.
Persahabatan Jakob dan Ojong berasal dari kesamaan pandangan politik dan nilai kemanusiaan yang dianut.
Pada April 1961, PK Ojong mengajak Jakob untuk mendirikan sebuah majalah. Majalah tersebut diberi nama Intisari mengenai perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
Majalah Intisari yang didirikan oleh Jakob Oetama dan PK Ojong Bersama J. Adisubrata dan Irawati SH pertama kali terbit pada 17 Agustus 1963.
Majalah ini bertujuan untuk memberi bacaan bermutu dan membuka cakrawala masyarakat Indonesia.
Intisari juga dibuat sebagai pandangan politik Jakob dan Ojong yang menolak belenggu terhadap masuknya informasi dari luar.
Dalam penerbitannya, Intisari juga melibatkan banyak ahli di antaranya adalah ahli ekonomi Prof. Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal seperti Drs. Sanjoto Sasstromohardjo, dan sejarawan muda Nugroho Notosusanto.
Berkat pergaulan PK Ojong yang sangat luas Intisari berhasil terbit. Saat itu Intisari terbit dengan tampilan hitam putih dan tanpa sampul.
Intisari mendapat respons yang baik dari para pembaca dan beroplah 11.000 eksemplar.
Dilansir oleh Tribunnews, kehadiran Intisari dianggap belum cukup. Di tahun 1965 Jakob Bersama PK Ojong mendirikan Surat Kabar Kompas.
Surat Kabar Kompas yang dimaksudkan untuk menjadi pilihan alternatif dari banyaknya media partisan yang terbentuk dari kondisi politik Indonesia pasca Pemilu 1995.
Nama Kompas sendiri merupakan pemberian dari Presiden Soekarno yang berarti penunjuk arah.
Sebelumnya, nama yang akan dipilih adalah ‘Bentara Rakyat’ yang berarti koran itu ditujukan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat.
Moto yang dipilih pun “Amanat Penderitaan Rakyat”. Namun Presiden Soekarno saat itu kurang setuju dan mengusulkan nama “Kompas”.
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV