> >

Menanti Terobosan Menteri Nadiem Makarim di Tengah Pandemi Corona

Opini | 9 Juni 2020, 12:40 WIB
Ilustrasi: Siswa sekolah dasar negeri 002 Ranai melakukan aktivitas belajar menggunakan masker di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia, Selasa (4/2/2020). (Sumber: TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Oleh: Johar Arief*

Dunia pendidikan menunggu solusi pemerintah tentang keberlangsungan kegiatan belajar mengajar. Pemerintah belum bisa memastikan kapan sektor pendidikan kembali beroperasi secara optimal di tengah pandemi corona. 

Fasilitas pendidikan masih akan ditutup untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembukaan sekolah dan meminta penerapan “new normal” sektor pendidikan dipersiapkan dengan matang tanpa terburu-buru. 

Berbeda dengan sektor umum lainnya, "new normal" di sektor pendidikan menjadi permasalahan tersendiri karena karakteristiknya yang berbeda. Masih menjadi pertanyaan apakah protokol kesehatan akan efektif dijalankan anak-anak di sekolah. Begitu pun kesiapan para siswa dan sekolah. 

Berbagai pihak meminta pemerintah untuk tidak gegabah memutuskan membuka kembali sekolah-sekolah di bawah protokol kenormalan baru. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan penerapan protokol new normal di sekolah akan terkendala karena yang dihadapi adalah anak-anak.

Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, akan sulit memantau anak-anak untuk tidak berkerumun atau untuk disiplin menggunakan masker.

Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Anak Indonesia (IDAI) membantah asumsi bahwa kelompok usia anak tidak rentan Covid-19.  Temuan IDAI menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tergolong tinggi.

Berdasarkan pelacakan IDAI terhadap kasus Covid-19 pada anak, jumlah PDP anak hingga 18 Mei 2020 mencapai 3.324. Sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal dunia. Kasus positif pada anak yang terkonfirmasi tercatat 584, sebanyak 14 di antaranya meninggal dunia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan pasien Covid-19 berusia 0 hingga 17 tahun mencapai lima persen dari total kasus di Indonesia.

Berbagai hal di atas menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua terkait kembalinya anak-anak mereka ke bangku sekolah. Bukan hanya situasi di lingkungan sekolah yang memicu kegelisahan, tapi juga persoalan yang dihadapi di luar pagar sekolah, seperti persoalan transportasi menuju sekolah.

Sejauh ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan sejumlah skenario untuk menyambut tahun ajaran baru pada 13 Juli 2020 mendatang.

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu (20/5) lalu, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan estimasi optimistis adalah membuka kembali sekolah pada pertengahan Juli sesuai dengan kalender pendidikan dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat.

Namun, jika kasus Covid-19 masih tinggi, maka pembelajaran jarak jauh untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tetap dilanjutkan. 

Skenario lainnya adalah pembukaan sekolah secara parsial sesuai kondisi daerah masing-masing. Semua keputusan terhadap skenario ini merujuk pada kajian Gugus Tugas Covid-19.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bahkan tak memungkiri jika sekolah baru akan dibuka kembali pada akhir tahun ini atau awal tahun depan. Menurut Muhadjir, dibandingkan sektor-sektor lain, sektor pendidikan kemungkinan akan menjadi yang terakhir dibuka dalam skenario kenormalan baru.

Proses pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran secara online kemungkinan masih akan terus dijalani dalam waktu lama. Setidaknya untuk jangka waktu enam bulan ke depan. Jika penyebaran Covid-19 telah terkendali sekali pun tidak ada jaminan anak-anak tidak akan tertular jika sekolah kembali dibuka.

Di sisi lain, metode pembelajaran online yang dilakukan saat ini merupakan crash program yang terpaksa diterapkan dalam masa pandemi. Metode ini tidak pernah dirancang sebelumnya, namun mendadak harus dilakukan dengan menggunakan kurikulum pendidikan yang didesain untuk pembelajaran tatap muka. 

Akibatnya, capaian pendidikan tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Materi pembelajaran yang harus disampaikan dengan alat peraga atau praktek, misalnya, harus disampaikan dalam keterbatasan interaksi dalam jaringan (online). Belum lagi bicara berbagai kendala teknis untuk menunjang pembelajaran online, seperti ketersediaan koneksi internet dan perangkat keras. 

Boleh jadi pemerintah memutuskan untuk loncat ke new normal di sejumlah sektor meski indikator epidemiologi berkata sebaliknya. Namun, sektor pendidikan seharusnya tidak diperlakukan sama.

Keselamatan anak-anak sekolah bukan sesuatu untuk dipertaruhkan. Wacana sektor pendidikan sebagai yang terakhir dibuka harus didukung dengan kepastian tak ada resiko penularan yang dihadapi para siswa, baik di dalam maupun di luar pagar sekolah.

Karena itu, kini saatnya perspektif pendidikan di tengah pandemi diubah. Bukan lagi soal tarik-ulur protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Namun, bagaimana merancang kurikulum pendidikan jarak jauh dengan memberdayakan teknologi informasi.

Grand design seperti ini lah yang selama ini tidak pernah dimiliki. Sementara pandemi Covid-19 diperkirakan masih akan bertahan dalam waktu yang lama.

Lagi pula, seperti yang semula dinginkan Presiden Joko Widodo, penunjukkan Nadiem Makarim sebagai mendikbud diharapkan membawa sentuhan inovasi dan teknologi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Butuh kecermatan dan kehati-hatian yang tinggi untuk menerapkan kenormalan baru di dunia pendidikan. Keselamatan anak-anak tetap harus dinomorsatukan.

Namun, hak anak-anak untuk memperoleh layanan pendidikan juga harus dipenuhi. Menjaga capaian pendidikan selama pandemi kini menjadi tantangan yang harus dihadapi.
 

*Johar Arief adalah jurnalis senior yang bekerja di KompasTV.

Penulis : Alexander-Wibisono

Sumber : Kompas TV


TERBARU