SAE Nababan, Gus Dur, dan Orde Baru
Opini | 11 Mei 2021, 14:00 WIBPenulis: Executive Producer KompasTV, Martian Damanik
Salah seorang tokoh penting sinode gereja di Indonesia, Pendeta Soritua Albert Ernst (SAE) Nababan meninggal dunia pada Sabtu, 8 Mei 2021. Ingatan soal salah seorang Teolog terkemuka Indonesia ini adalah pada awal 1990-an. Ketika itu munculnya dualisme kepemimpinan dalam tubuh sinode gereja terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Persoalan dualisme itu bermula saat Sinode Godang tahun 1992, yang salah satu agendanya adalah memilih Ephorus atau pimpinan tertinggi, sekretaris jenderal serta pengurus pusat. Singkat cerita, terjadilah persoalan internal, sehingga menimbulkan perpecahan antara kubu yang mendukung kepemimpinan Ephorus Pendeta SAE Nababan dengan penentangnya.
Masalah internal ini kemudian menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk ikut campur menyelesaikan persoalan HKBP. Salah satu taktik politik Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya adalah menciptakan bahasa politik, istilah atau narasi terhadap sebuah masalah. Dalam kasus HKBP, disebut sebagai “Kemelut HKBP”.
Baca Juga: Mengecam Aksi Terorisme, Justru Menjadi Pupuk?
Kemelut HKBP dinilai dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan, karena itu Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstranasda) Sumatera Utara yang dipimpin Pangdam Bukit Barisan pun bertindak. Bakorstranasda sebagai wakil pemerintah bertindak dengan menerbitkan surat keputusan menunjuk pejabat sementara Ephorus HKBP, dengan kata lain mencopot Pendeta SAE Nababan. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo Mayjen R Pramono---ketua Bakorstranasda dan Pangdam Bukit Barisan ketika itu---mengaku mengambil tindakan karena diminta oleh mayoritas pengurus HKBP.
Inilah yang memicu konflik di HKBP semakin meruncing, yang mengakibatkan dualisme kepemimpinan di HKBP dari tahun 1992-1998. Di masa ini, terjadilah kericuhan akibat perebutan gereja antara kubu pro SAE Nababan dann kubu Ephorus pilihan pemerintah.
Bukan cuma di Sumatera Utara, kericuhan gereja HKBP juga sempat terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat. Pendeta dan guru jemaat yang menolak mengakui pengurus pusat HKBP pilihan pemerintah disingkirkan. SAE Nababan dan keluarga juga digusur dari rumah dinas Ephorus. Semua barang miliknya dikeluarkan dari rumah dinas.
Baca Juga: Satu Jam Bersama Pak Jusuf Kalla di Vatikan
Belum lagi kekerasan dan penahanan yang dilakukan Bakorstranasda. Human Right Watch (HRW) dalam laporannya yang berjudul “Kekerasan Militer terhadap Gereja Batak” tanggal 25 Januari 1993 menyebutkan telah terjadi sejumlah penahanan dan kekerasan terhadap 60 anggota jemaat HKBP yang melakukan protes terhadap intervensi pemerintah.
Semasa menjadi Ephorus HKBP, Pendeta SAE Nababan dikenal kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Opininya kerap menyuarakan perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan prinsip demokrasi---dua hal yang kerap dilanggar ketika itu. Dia juga berteman dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdurahman Wahid (Gus Dur), yang juga kritis terhadap Orde Baru.
Tahun 1989, Pendeta SAE Nababan mengundang Gus Dur menjadi panelis dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Surabaya. Dalam catatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, inilah momen pertama kali seorang ulama, kiai sekaligus cendikiawan Islam diundang dalam sidang yang dihadiri pimpin gereja seluruh Indonesia. Gus Dur dan SAE Nababan pun disebut sebagai pelopor dialog teologis antaragama, khususnya Islam dan Kristen.
Baca Juga: Surat Perintah 11 Maret, Tonggak Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Sikap kritis terhadap Orde Baru dianggap sebagian kalangan sebagai penyebab SAE Nababan tidak mendapat “restu” untuk kembali memimpin HKBP. Bukan rahasia lagi, di zaman Orde Baru yang sangat otoritarian, pimpinan organisasi kemasyarakatan atau partai politik haruslah orang yang patuh plus mendapat restu dari pemerintah.
Setelah HKBP tahun 1992, nasib serupa nyaris terjadi terhadap Gus Dur, saat Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994. Pemerintah ingin menjadikan Abu Hasan jadi ketua umum PBNU, namun mayoritas peserta muktamar memilih Gus Dur. Tahun 1996, bahkan terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 karena pemerintah intervensi kongres Partai Demokrasi Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini seperti bola salju yang menggelinding menghantam pemerintahan Orde Baru yang akhirnya tumbang 21 Mei 1998.
Pendeta SAE Nababan telah meninggalkan kita. Ketua Umum PGI Gomar Gultom menyebut warisan utama pemikiran SAE Nababan adalah soal keadilan. Tanpa keadilan, perdamaian itu semu, begitu kata SAE Nababan.
#SAENababan #OrdeBaru #GusDur
Penulis : Desy-Hartini
Sumber : Kompas TV