SAE Nababan, Gus Dur, dan Orde Baru
Opini | 11 Mei 2021, 14:00 WIBSemasa menjadi Ephorus HKBP, Pendeta SAE Nababan dikenal kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Opininya kerap menyuarakan perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan prinsip demokrasi---dua hal yang kerap dilanggar ketika itu. Dia juga berteman dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdurahman Wahid (Gus Dur), yang juga kritis terhadap Orde Baru.
Tahun 1989, Pendeta SAE Nababan mengundang Gus Dur menjadi panelis dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Surabaya. Dalam catatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, inilah momen pertama kali seorang ulama, kiai sekaligus cendikiawan Islam diundang dalam sidang yang dihadiri pimpin gereja seluruh Indonesia. Gus Dur dan SAE Nababan pun disebut sebagai pelopor dialog teologis antaragama, khususnya Islam dan Kristen.
Baca Juga: Surat Perintah 11 Maret, Tonggak Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Sikap kritis terhadap Orde Baru dianggap sebagian kalangan sebagai penyebab SAE Nababan tidak mendapat “restu” untuk kembali memimpin HKBP. Bukan rahasia lagi, di zaman Orde Baru yang sangat otoritarian, pimpinan organisasi kemasyarakatan atau partai politik haruslah orang yang patuh plus mendapat restu dari pemerintah.
Setelah HKBP tahun 1992, nasib serupa nyaris terjadi terhadap Gus Dur, saat Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994. Pemerintah ingin menjadikan Abu Hasan jadi ketua umum PBNU, namun mayoritas peserta muktamar memilih Gus Dur. Tahun 1996, bahkan terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 karena pemerintah intervensi kongres Partai Demokrasi Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini seperti bola salju yang menggelinding menghantam pemerintahan Orde Baru yang akhirnya tumbang 21 Mei 1998.
Pendeta SAE Nababan telah meninggalkan kita. Ketua Umum PGI Gomar Gultom menyebut warisan utama pemikiran SAE Nababan adalah soal keadilan. Tanpa keadilan, perdamaian itu semu, begitu kata SAE Nababan.
#SAENababan #OrdeBaru #GusDur
Penulis : Desy-Hartini
Sumber : Kompas TV