Jangan Sampai Lupa
Opini | 23 Januari 2021, 16:54 WIBOleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Ia pernah berpesan kepada kami. Tidak hanya “pernah”, tetapi berkali-kali berpesan, dalam berbagai kesempatan. Kami tidak pernah bosan mendengarkan pesan itu. Kami secara diam-diam, masing-masing, tanpa ada rembukkan, berkeyakinan —mengapa ia selalu mengatakan hal yang sama setiap waktu, selalu memberikan pesan yang sama setiap ada kesempatan, meski dicampur dengan pesan-pesan lainnya—bahwa pesan itu sangat penting!
Itu yang kami yakini. Pesannya penting. Tidak hanya bagi kami —yang berasal dari berbagai daerah, berbagai suku-etnis, dan berbagai agama ini— tetapi bagi keberlangsungan bangsa ini. Itu kami yakini.
Suatu ketika ia mengatakan, “Kita jangan sampai bernasib seperti Azerbaijan dan Armenia dua negara bekas Uni Soviet, yang berkonflik. Kita juga jangan sampai bernasib seperti negara-negara di Balkan, yang berperang, saling membunuh, dan pecah. Jangan sampai kita seperti Irlandia Utara yang bertahun-tahun dibelit konflik antara kelompok Protestan dan Katolik, seperti perang 30 tahun saja di zaman dulu, 1618-1648. Juga, jangan sampai seperti Nigeria, seperti Sudan yang akhirnya pecah menjadi dua, dan sejumlah negara lainnya yang dibelit oleh kebencian sektarian.”
Kalian tahu, begitu katanya pada suatu kesempatan di pagi hari, seperti yang dikatakan oleh Amartya Sen bahwa kebencian sektarian yang giat dihembus-hembuskan bisa menyebar cepat laksana nyala api; nyala api yang setiap kali membakar hutan-hutan di negeri kita ini. Habis semuanya dimakan api.
Ia masih melanjutkan pesannya: Itulah sebabnya, mengapa selalu saya katakan bahwa kalian tidak boleh lupa. Kalian jangan sampai lupa bahwa masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa yang majemuk. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, sukubangsa (etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya.
Kenyataan secara kondrati Indonesia, tidak mungkin diingkari. Indonesia itu secara kodrati bhinneka, beragam dalam segala hal, baik suku, agama, ras maupun etnik. Adakah yang bisa menyangkal? Adakah yang bisa memungkirinya? Tanpa kemajemukan, tanpa kebhinnekaan itu, tidak ada Indonesia.
II
Memang, kita tidak bisa memungkiri bahwa masih saja ada orang-orang, pihak-pihak yang berpikiran sempit, mungkin juga picik yang terus berusaha mengingkari kemajemukan bangsa kita ini. Ingat, pada Oktober 1928, para pemuda dari berbagai wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini, bersumpah: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Puncak sumpah itu adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Maka dalam suatu pidatonya pada tahun 1947, Bung Karno mengatakan, “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, sesuatu golongan?… Sudah tentu tidak!… bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua.’
Seperti yang dikatakan Bung Karno, Indonesia adalah “untuk semua”; semua yang beragam. Itu artinya, Indonesia bukan hanya untuk “yang mayoritas” entah itu dalam suku, agama, etnis, serta budaya. Tetapi, Indonesia adalah juga untuk “yang minoritas” dalam segala hal.
Indonesia juga bukan hanya untuk mereka, misalnya, yang berkulit kuning atau coklat, atau putih saja. Tetapi Indonesia juga untuk mereka yang berkulit sawo matang dan juga hitam. Indonesia untuk mereka yang berambut lurus, ikal, dan juga keriting.
Indonesia juga bukan hanya untuk mereka yang bermata belok, bulat, besar, tetapi juga yang bermata sipit. Dengan kata lain, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang beridentitas tunggal. Identitas bangsa Indonesia adalah beragam. Indonesia adalah plural. Majemuk.
Pluralisme adalah pangakuan dan jaminan terhadap keanekaragaman dalam berbagai hal etnik, budaya dan agama yang khas bagi bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Angas sampai Rote. Bukankah itu indah. Bangsa kita bagaikan pelangi, beraneka ragam begitu indah.
Kemajemukan bangsa ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan, yang tidak mungkin kita ubah. Tuhan menciptakan kita majemuk, beragam-ragam dalam segala hal. Tujuannya apa? Tentu bukan agar kita saling berkelahi, saling bertengkar, tetapi agar kita bisa saling mengenal satu sama lain, saling harga-menghargai, hormat-menghormati, saling kasih-mengasihi. Bukankah, tidak ada seorang pun sepenuhnya bisa berdiri sendiri laksana sebuah pulau yang terpisah?
Kalian semua harus ingat bahwa dalam masyarakat majemuk seperti itu, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita terbebas dari intoleransi. Toleransi di negeri kita ini adalah peneguhan bahwa masyarakat kita majemuk. Keanekaragaman itulah yang membentuk Indonesia, negeri kita ini. Tanpa ada keragaman, tidak ada Indonesia.
III
Lalu, suatu pagi ia berkata dalam nada tanya: Mengapa yang lahir dari perbedaan, sekarang sulit menerima perbedaan?
Kepada kami semua, ia mengatakan, segala usaha pengingkaran terhadap kemajemukan, segala usaha mencederai dan bahkan merusak kemajemukan, keberagaman, dan kebinekaan sama dengan menghancurkan Indonesia. Dengan kata lain, segala usaha melenyapkan kemajemukan, keragaman, dan kebhinnekaan sama dengan membunuh Indonesia.
Mereka itu sedang lupa. Lupa asal-mulanya. Lupa pada ciri kodrati bangsa ini yang adalah bhinneka, yang adalah majemuk, yang adalah beragam. Ada yang lupa bahwa agama yang hidup di negeri ini dan diakui resmi, itu beragam. Padahal, wajah Indonesia adalah wajah Muslim, wajah Kristen, wajah Katolik, wajah Hindu, wajah Buddha, wajah kepercayaan, wajah penghayatan, dan juga wajah kebatinan. Itulah Indonesia!
Karena itu, dalam masyarakat majemuk seperti itu, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita terbebas dari intoleransi. Toleransi di negeri kita ini adalah peneguhan bahwa masyarakat kita majemuk.
Semestinya, seperti dituliskan dalam Dokumen Abu Dhabi (The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together)”, yakni dokumen yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, “…agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah.”
Realitas tragis ini, menurut kedua tokoh itu, merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama. Hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para laki-laki dan perempuan agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan picik.
“Karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak untuk berhenti menggunakan agama untuk menghasut (orang) kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan untuk menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme, dan penindasan… Allah, Yang Maha-kuasa, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang-orang.”
IV
Suatu sore, tidak seperti biasanya, ia muncul di hadapan kami. Dan, mengatakan, “Ingin sekali lagi saya katakan, jangan sampai lupa akan asal-muasal bangsa ini.” Kalimat “Jangan sampai lupa,” diulangi tiga kali dengan penekanan.
Lalu, ia mengakhiri pesannya dengan mengatakan, “Sebagai orang beriman, kalian semua tahu bahwa iman kepada Allah itu mempersatukan dan tidak memecah belah. Iman itu mendekatkan kita, kendatipun ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari permusuhan dan kebencian.“
“Aja lali, ya Mas,” katanya pelan.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV