Betlehem Palestina Sunyi di Malam Natal, Menolak Merayakan saat Warga Gaza Diserang Israel
Kompas dunia | 25 Desember 2023, 06:30 WIBBETHLEHEM, KOMPAS.TV - Kota kelahiran Yesus yang biasanya ramai kini sunyi sepi hari Minggu (24/12/2023) setelah perayaan Malam Natal di Bethlehem dibatalkan akibat perang Israel-Hamas.
Kota ini seperti menolak adanya perayaan Natala karena tidak sampai hati merayakan Israel terus menerus menyerang warga Gaza.
Lampu-lampu meriah dan pohon Natal yang biasanya menghiasi Manger Square hilang, begitu juga dengan kerumunan turis asing dan band pemuda yang bersemangat di kota Tepi Barat setiap tahun untuk merayakan hari besar ini.
Puluhan pasukan keamanan Palestina berpatroli di lapangan yang sepi.
"Tahun ini, tanpa pohon Natal dan tanpa lampu, hanya ada kegelapan," kata John Vinh, seorang biarawan Fransiskan asal Vietnam yang sudah tinggal di Yerusalem selama enam tahun, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Minggu (24/12).
Vinh mengatakan, ia selalu datang ke Bethlehem untuk merayakan Natal, tetapi tahun ini terasa sangat mendalam. Ia menatap patung kelahiran di Manger Square dengan bayi Yesus yang dibalut kain kafan putih, mengingatkan pada ribuan anak yang tewas dalam pertempuran di Gaza.
Kawat berduri mengelilingi patung tersebut, puing abu-abu tidak mencerminkan kegembiraan lampu dan warna-warni yang biasanya memenuhi lapangan selama musim Natal. Cuaca dingin dan hujan menambah suasana muram.
"Kami tidak bisa membenarkan adanya pohon natal dan merayakan seperti biasa, saat sebagian saudara kami (di Gaza) bahkan tidak punya rumah untuk pulang," kata Ala’a Salameh, salah satu pemilik Restoran Afteem, restoran falafel milik keluarga yang hanya beberapa langkah dari lapangan.
Salameh mengatakan Malam Natal biasanya adalah hari tersibuk dalam setahun.
"Biasanya, Anda tidak bisa menemukan satu kursi pun untuk duduk, kami penuh dari pagi hingga tengah malam," kata Salameh.
Pada hari Minggu pagi, hanya satu meja yang digunakan, itupun oleh para jurnalis yang istirahat dari hujan.
Baca Juga: AS Tak Pedulikan Surat Gereja Betlehem Minta Gencatan Senjata di Gaza, Dibalas dengan Veto di PBB
Di bawah spanduk yang bertuliskan "Lonceng Natal Bethlehem berbunyi untuk gencatan senjata di Gaza," beberapa remaja menawarkan Santa Kecil yang bisa ditiup, tetapi tidak ada yang membeli.
Alih-alih berbaris di jalanan Bethlehem seperti biasa, jajaran anak muda berdiri diam dengan bendera. Sejumlah siswa setempat membentangkan bendera besar Palestina sambil berdiri dalam diam.
Pemusik organ paduan suara Gereja Kelahiran, Shukry Mubarak, mengatakan kelompok tersebut mengubah sebagian besar repertoar musik Natal yang tradisional dari lagu-lagu liburan yang ceria menjadi kidung-kidung yang lebih hening dalam nada minor.
"Pesan kami setiap tahun pada Natal adalah perdamaian dan cinta, tetapi tahun ini adalah pesan kesedihan, duka, dan kemarahan di hadapan masyarakat internasional dengan apa yang terjadi di Jalur Gaza," jelas Wali Kota Bethlehem, Hana Haniyeh, dalam pidato kepada kerumunan.
Pembatalan perayaan Natal adalah pukulan berat bagi ekonomi kota ini. Pariwisata menyumbang sekitar 70% dari pendapatan Bethlehem, hampir semuanya selama musim Natal.
Dengan banyak maskapai besar membatalkan penerbangan ke Israel, sedikit wisatawan asing yang berkunjung. Pejabat setempat mengatakan lebih dari 70 hotel di Bethlehem terpaksa tutup, membuat ribuan orang menganggur.
Toko cendera mata lambat untuk dibuka pada Malam Natal, meskipun beberapa dibuka setelah hujan reda. Namun, pengunjung sangat sedikit.
Baca Juga: Netanyahu Sebut Gaza seperti Perang Dunia II, Sejarawan: Alasan untuk Membenarkan Kebrutalan
Dr. Joseph Mugasa, seorang dokter anak, adalah salah satu pengunjung internasional yang hanya sedikit. Ia mengatakan kelompok wisatanya yang terdiri dari 15 orang dari Tanzania "bertekad" untuk datang ke wilayah ini apapun situasinya.
"Saya sudah datang ke sini beberapa kali, dan ini Natal yang cukup unik, biasanya ada banyak orang dan banyak perayaan," ungkap Mugasa.
"Tetapi Anda tidak bisa merayakan ketika orang menderita, jadi kami merasa sedih untuk mereka dan berdoa untuk perdamaian."
Lebih dari 20.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 50.000 terluka selama serangan udara dan darat Israel terhadap penguasa Hamas di Gaza, menurut pejabat kesehatan setempat, sementara sekitar 85% dari 2,3 juta penduduk wilayah itu telah mengungsi.
Perang dipicu oleh serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober terhadap selatan Israel di mana militan membunuh sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan membawa lebih dari 240 orang sebagai sandera.
Perang di Gaza disertai dengan lonjakan kekerasan di Tepi Barat, dengan sekitar 300 warga Palestina tewas oleh tembakan Israel.
Pertempuran telah mempengaruhi kehidupan di seluruh wilayah yang dikepung Israel. Sejak 7 Oktober, akses ke Bethlehem dan kota-kota Palestina lainnya di Tepi Barat sulit, dengan barisan panjang pengemudi menunggu melewati pos pemeriksaan militer. Pembatasan juga mencegah puluhan ribu warga Palestina keluar dari wilayah tersebut untuk bekerja di Israel.
Amir Michael Giacaman membuka tokonya, "Il Bambino," yang menjual ukiran kayu zaitun dan suvenir lainnya, untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober. Tidak ada wisatawan, dan sedikit penduduk setempat memiliki uang berlebih karena mereka yang bekerja di Israel terpaksa tinggal di rumah.
Baca Juga: NYELENEH! Ukraina Pindahkan Tanggal Hari Natal Agar Tak Sama dengan Rusia, Alasannya Cuma karena Ini
"Ketika orang memiliki uang ekstra, mereka pergi membeli makanan," kata istrinya, Safa Giacaman.
"Tahun ini, kita menceritakan kisah Natal. Kita merayakan Yesus, bukan pohon, bukan Santa Claus," katanya, sambil putrinya, Mikaella, berlari-lari di sekitar toko yang sepi.
Adapun pertempuran di Gaza menjadi perhatian komunitas kecil Kristen di Suriah, yang sedang menghadapi perang saudara selama 13 tahun. Orang-orang Kristen mengatakan mereka mencoba menemukan kegembiraan, meskipun pertikaian terus berlanjut di Tanah Air mereka dan di Gaza.
"Dimana kasih sayang? Apa yang telah kita lakukan dengan kasih sayang?" kata Pastor Elias Zahlawi, seorang imam di Yabroud, sebuah kota sekitar 80 kilometer utara Damaskus. "Kita telah mengusir Tuhan dari ranah kemanusiaan dan sayangnya, gereja tetap diam di hadapan kenyataan yang menyakitkan ini."
Beberapa mencoba mencari inspirasi dalam semangat Natal. Patriarch Latin Pierbattista Pizzaballa, datang dari Yerusalem untuk prosesi tradisional ke Gereja Kelahiran, mengatakan kepada kerumunan yang sepi bahwa Natal adalah "alasan untuk tetap berharap" meskipun ada perang dan kekerasan.
Natal yang disederhanakan ini sesuai dengan pesan asli dari hari besar ini dan menggambarkan banyak cara komunitas bersatu, kata Stephanie Saldaña, yang berasal dari San Antonio, Texas, dan telah tinggal di Yerusalem dan Bethlehem selama 15 tahun bersama suaminya, seorang imam paroki di Gereja Katolik Siria St. Joseph.
"Kami merasakan Natal lebih nyata dari sebelumnya, karena kami menunggu sang pangeran perdamaian datang. Kami menunggu keajaiban untuk menghentikan perang ini," kata Saldaña.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Associated Press