Rencana Pemberlakuan Cuti Haid yang Digaji Jadi Perdebatan Politik Panas dan Sengit di Spanyol
Kompas dunia | 15 Mei 2022, 04:40 WIBMADRID, KOMPAS.TV - Rencana Spanyol untuk menjadi negara Eropa pertama yang mengizinkan perempuan mengambil "cuti haid" dari pekerjaan memicu perdebatan panas dan sengit yang memecah koalisi pemerintah dan serikat pekerja kiri negara itu, seperti dilansir Straits Times, Sabtu, (14/5/2022).
Pemerintahan Perdana Menteri Sosialis Pedro Sanchez diperkirakan akan memasukkan cuti menstruasi sebagai bagian dari rancangan UU tentang kesehatan reproduksi yang akan disetujui pada rapat kabinet Selasa (17/5/2022) mendatang.
"Kami akan mengakui dalam undang-undang (adanya) hak untuk cuti haid perempuan yang mengalami haid menyakitkan, dan akan dibiayai oleh negara," cuit Menteri Kesetaraan Irene Montero pada hari Jumat (13/5).
Montero berasal dari partai sayap kiri Podemos, mitra koalisi junior Sanchez.
Undang-undang yang diusulkan akan memperkenalkan cuti haid yang dibayar atau digaji setidaknya tiga hari setiap bulan untuk perempuan yang menderita nyeri haid yang parah, seperti laporan surat kabar harian El Pais dan media lain yang telah melihat rancangan RUU tersebut.
Cuti kerja dapat diperpanjang hingga lima hari untuk perempuan dengan haid yang sangat melumpuhkan jika mereka memiliki surat dokter atau sertifikat medis, kata laporan itu.
"Ada perempuan yang tidak bisa bekerja dan hidup normal karena mengalami menstruasi yang sangat menyakitkan," kata Montero.
Baca Juga: Spanyol Pecat Bos Intelijen Gegara Mata-matai Pejabat Sendiri, Termasuk Perdana Menteri dan Menhan
Cuti haid saat ini ditawarkan hanya di sejumlah kecil negara, termasuk Korea Selatan dan Indonesia, tetapi tidak ada satu pun di Eropa.
Masalah ini terbukti kontroversial di Spanyol, dengan beberapa politisi dan serikat pekerja mengatakan hal itu dapat menstigmatisasi perempuan di tempat kerja dan mendukung perekrutan laki-laki.
"Anda harus berhati-hati dengan keputusan seperti ini," kata Cristina Antonanzas, wakil sekretaris salah satu serikat pekerja UGT. Ia menambahkan, hal ini secara tidak langsung dapat berdampak pada "akses perempuan ke pasar tenaga kerja".
Tetapi serikat pekerja utama Spanyol lainnya, CCOO, menyambut baik langkah yang diusulkan dan menyebutnya sebagai "kemajuan legislatif" utama yang akan mengenali masalah kesehatan yang telah "diabaikan" sampai sekarang.
Menteri Ekonomi Nadia Calvino, mantan direktur jenderal anggaran di Komisi Eropa yang tergabung dalam partai Sosialis, mengatakan beberapa rancangan saat ini sedang dikerjakan.
"Pemerintah tidak akan pernah mengambil tindakan yang menstigmatisasi perempuan," katanya kepada wartawan hari Kamis ketika ditanya tentang kontroversi tersebut.
Ketua oposisi utama Partai Populer (PP), Alberto Nunez Feijoo, mengatakan terserah kepada dokter untuk memutuskan kapan cuti sakit diperlukan.
Baca Juga: Ratu Denmark dan Raja Spanyol Dipastikan Positif Terinfeksi Covid-19
Dia menuduh pemerintah berusaha mengalihkan perhatian dari skandal mata-mata ponsel dengan tindakan tersebut.
Ana Ferrer, dari Asosiasi Korban Endometriosis (endometriosis adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan gejala menstruasi yang lebih parah), mengatakan dia khawatir tindakan itu akan mengarah pada "diskriminasi" terhadap perempuan meskipun itu bermaksud untuk melindungi hak-hak mereka.
"Yang kami butuhkan, lebih dari cuti adalah pengakuan atas disabilitas kami," kata Ferrer.
Rancangan UU kesehatan reproduksi juga menyerukan penghapusan pajak pertambahan nilai pada beberapa produk pembalut perempuan seperti tampon.
Ini juga akan mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan akses aborsi di rumah sakit swasta, dan mengubah undang-undang yang mengizinkan anak di bawah umur berusia 16 dan 17 tahun untuk mengakhiri kehamilan tanpa persetujuan orang tua mereka.
Spanyol mendekriminalisasi aborsi pada tahun 1985 dalam kasus pemerkosaan, jika janin cacat atau jika kelahiran menimbulkan risiko fisik atau psikologis yang serius bagi ibu.
Cakupan undang-undang tersebut diperluas pada tahun 2010 untuk mengizinkan aborsi sesuai permintaan dalam 14 minggu pertama kehamilan, tetapi akses ke prosedur tersebut diperumit oleh fakta bahwa banyak dokter di rumah sakit umum menolak untuk melakukan aborsi.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Straits Times