Cerita WNI di Selandia Baru, Sukses Buka Restoran untuk Perkenalkan Kuliner Indonesia
Kompas dunia | 28 Februari 2022, 05:28 WIBNamun demikian, ia tetap nekad membuka restoran sendiri, terlebih karena memiliki misi dan pesan yang disampaikan melalui restoran ini.
“Saya ingin makanan Indonesia bisa ditampilkan dengan lebih modern dan cantik. Kebanyakan orang kiwi tahunya hanya street food Indonesia. Tapi di Capital Bistro, kita menunjukkan makanan Indonesia juga bisa naik kelas menjadi fine dining. Ini kesempatan emas untuk memperkenalkan makanan Indonesia,” ujarnya.
Namun demikian, ia mengakui memang tantangan yang dihadapinya dalam membuka restoran tidak mudah. Menurut Rifai, salah satu tantangan terbesar untuk membuka restoran di Selandia Baru adalah modal. Di samping itu, kemauan dan keuletan untuk berusaha juga menjadi tantangan besar. Terkadang ketakutan kita yang akhirnya mengurungkan niat untuk berusaha.
Selain tantangan-tantangan itu, menurutnya untuk membuka usaha atau berinvestasi di Selandia Baru cukup mudah.
Namun dia mengakui, restoran di Selandia Baru juga memiliki standar yang ketat, misalkan seperti standar kebersihan dan keamanan makanan. Seorang pengusaha bisa membuka restoran di Selandia Baru jika sudah mendapatkan izin dari City Council, kemudian City Council juga akan memeriksa kebersihan dan keamanan makanan setiap enam bulan sekali.
“Dalam pemeriksaan City Council yang kemarin, kami mendapat sertifikat excellent,” ujarnya.
Di restoran The Capital Bistro, menu yang ditawarkan umumnya western, namun tetap mendapatkan sentuhan Indonesia. Contohnya ada menu fushion atau percampuran antara western dan Indonesia, yaitu iga bakar dengan bumbu rendang dan chicken mango salad.
Meskipun menjual makanan Indonesia, namun menurut Rifai, 80 persen dari pelanggannya justru bukan warga Indonesia. Dia memiliki banyak pelanggan yang merupakan warga Selandia Baru, Malaysia, hingga Filipina.
Rifai mengaku, agar menu masakannya bisa diterima lidah internasional, harus dilakukan modifikasi resep. Contohnya iga bakar yang dijualnya tidak bercita rasa pedas. Namun untuk menjaga agar tetap ada citarasa Indonesia, sambalnya dipisah dari iga bakar, sehingga bisa disesuaikan dengan level kepedasan masing-masing pelanggan.
“Kita harus mencoba memodifikasi menu terus menerus, jadi tidak boleh stagnan dan hanya menjual menu yang itu-itu saja, karena orang-orang kiwi senang mencoba makanan baru,” ujarnya.
Rifai berharap, di masa yang akan datang akan lahir lagi pengusaha-pengusaha Indonesia yang membuka restoran Indonesia di Selandia Baru, sehingga Indonesia lebih dikenal.
“Saya titip pesan agar teman yang akan berangkat ke Selandia Baru untuk memperkaya skill seperti masak atau perbengkelan. Kalau ke luar negeri jangan hanya untuk bekerja, tapi juga diniatkan untuk menjadi pengusaha,” katanya.
Baca Juga: PM Selandia Baru Kutuk Serangan Rusia, Warganya Berdemo ke Kedutaan Rusia
Menurutnya saat ini masih sangat sedikit restoran Indonesia di Selandia Baru. Di seluruh Selandia Baru, hanya terdapat kurang dari 50 restoran Indonesia. Selebihnya ada yang masih mengandalkan usaha rumahan.
“Saya terpikir sudah setahun ke depan, untuk membuka restoran Indonesia untuk breakfast and lunch. Mungkin bukan 100 persen makanan Indonesia, tapi fushion. Saya butuh partner untuk membuka restoran ini, karena tidak sanggup kalau melakukannya sendiri,” katanya.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV