Ujaran Kebencian dan Glorifikasi Kejahatan Perang Meningkat di Bosnia dan Serbia, PBB Prihatin
Kompas dunia | 15 Januari 2022, 14:22 WIBJENEWA, KOMPAS.TV - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan keprihatinan atas meningkatnya ujaran kebencian dan glorifikasi kejahatan perang yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, dan Serbia.
Pada Minggu (9/1/2022) lalu, warga etnis Serb di Bosnia merayakan pembentukan Republik Srpska (RS), entitas Serb di Bosnia yang dideklarasikan tiga dekade silam, yang memicu perang yang menyebabkan 100.000 orang tewas. Perayaan tersebut sebenarnya telah dilarang.
Juru bicara Komisioner Tinggi HAM PBB, Liz Throssell, dalam pernyataannya pada Jumat (14/1/2022) mengatakan, PBB "sangat prihatin" dengan insiden-insiden di mana individu-individu "mengglorifikasi kejahatan kejam dan terdakwa-terdakwa penjahat perang, menargetkan komunitas-komunitas dengan ujaran kebencian, dan dalam beberapa kasus, secara langsung menghasut kekerasan."
Throssell mengatakan warga mengelu-elukan nama Ratko Mladic, terdakwa penjahat perang saat prosesi obor, menyanyikan lagu-lagu nasionalis yang menyerukan pengambilalihan lokasi-lokasi bekas Yugoslavia, dan dalam satu insiden, melepaskan tembakan ke udara di depan sebuah masjid.
Baca Juga: Seorang Kakek di Bosnia Bangun Rumah Berputar, Ingin Senangkan Istri yang Terus Mengeluh Bosan
Media setempat dan asosiasi-asosiasi korban mengatakan, beberapa ratus orang hadir dalam penyalaan kembang api di Foca pada Sabtu (8/1/2022).
Acara itu digelar oleh para pendukung sepak bola Red Star Belgrade yang juga memasang potret Mladic di sebuah gedung.
Mladic, mantan jenderal Serbia di Bosnia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas kejahatan perang di Bosnia, terutama pembantaian Srebrenica dan pengepungan Sarajevo.
"Insiden-insiden ini, beberapa di lokasi tempat kejahatan kejam berskala besar terjadi selama perang di Bosnia dan Herzegovina, seperti Prijedor dan Foca, adalah penghinaan bagi penyintas, termasuk mereka yang kembali ke rumah-rumah mereka setelah konflik," kata Throssell seperti dikutip dari Al Jazeera.
Serbia dan Bosnia akan menggelar pemilu masing-masing pada April dan Oktober mendatang.
Throssell memperingatkan, "retorika nasionalistis yang menghasut secara terus-menerus" berpotensi mengakibatkan ketegangan.
Baca Juga: Ramadan di Bosnia, Kisah Pekerja Tambang Batu Bara Menjalani Puasa Sambil Berjihad Mencari Nafkah
Bosnia saat ini sedang mengalami krisis politik terburuk sejak era 1990-an setelah warga etnis Serb memblokir pekerjaan pemerintah pusat.
Pemimpin warga etnis Serb di Bosnia, Milorad Dodik, juga mengancam akan menarik diri dari institusi-institusi pemerintah termasuk angkatan darat, kehakiman, dan sistem perpajakan.
Perjanjian Damai Dayton 1995 yang dimediasi Amerika Serikat (AS) mengakhiri perang selama 3,5 tahun di Bosnia.
Perjanjian itu juga mendirikan Bosnia-Herzegovina sebagai sebuah negara yang terdiri dari dua entitas yaitu federasi yang didominasi etnis Bosniak dan Kroat, dan Republika Srpska yang dijalankan warga Serb.
Dodik adalah anggota dari pihak Serb di kepresidenan tripartit Bosnia-Herzegovina.
Dia telah mengancam akan memisahkan Republika Srpska dari Bosnia-Herzegovina selama 15 tahun.
Akibat pernyataannya, AS menjatuhkan sanksi pada awal bulan ini terhadap Dodik yang diduga melakukan korupsi dan mengancam stabilitas dan integritas wilayah Bosnia-Herzegovina.
Dodik menolak sanksi tersebut yang menurutnya merupakan hasil lobi dari "sejumlah pejabat AS yang tidak setuju dengan visi Bosnia-Herzegovina yang saya punya dan yang ditandatangani pada 1995."
Baca Juga: Pulau Apung Sampah di Bosnia Bahayakan Lingkungan dan Manusia di Negara-Negara Balkan
Penulis : Edy A. Putra Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Al Jazeera