PBB Temukan Perbudakan Masa Kini di Sri Lanka, Korbannya Anak-Anak, Perempuan, Minoritas, dan Lansia
Kompas dunia | 4 Desember 2021, 05:35 WIBKOLOMBO, KOMPAS.TV — Seorang pejabat PBB untuk masalah perbudakan kontemporer menemukan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer di Sri Lanka, dengan kelompok-kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, etnis minoritas dan orang tua sangat terpengaruh situasi tersebut.
Tomoyo Obokata, pelapor khusus PBB untuk bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, mengatakan di akhir misi ke Sri Lanka bahwa ia berharap untuk menyerahkan laporan temuan tersebut ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada bulan September tahun depan, seperti dilansir Associated Press, Jumat (03/12/2021).
Obokata mengatakan sekitar 1 persen anak-anak Sri Lanka terlibat dalam beberapa jenis pekerja anak, sebagian besar dianggap pekerjaan berbahaya.
“Anak perempuan dan laki-laki bekerja di sektor domestik, perhotelan, dan kebersihan di industri jasa umum. Lainnya dieksploitasi secara seksual di sektor pariwisata," katanya.
Pekerja anak dengan kondisi sangat parah terjadi di daerah yang dihuni oleh etnis minoritas Tamil, seperti di daerah perkebunan teh dan karet di mana anak-anak terpaksa putus sekolah dan menghidupi keluarga mereka, katanya.
Baca Juga: Presiden Sri Lanka Copot Menkes yang Sarankan Minum Ramuan Penyihir untuk Lawan Covid-19
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer termasuk perbudakan tradisional, kerja paksa, ijon, perbudakan berdasarkan feodalisme maupun keturunan, anak-anak yang bekerja dalam perbudakan atau kondisi seperti perbudakan, perbudakan rumah tangga, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk pernikahan budak.
“Saya menyaksikan di Sri Lanka bentuk perbudakan kontemporer memiliki dimensi etnis,” kata Obokata.
“Secara khusus, orang Tamil Malayaha, yang dibawa dari India untuk bekerja di sektor perkebunan 200 tahun yang lalu, terus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi berdasarkan asal mereka.”
Dia mengatakan ketidakmampuan orang Tamil untuk memiliki tanah memaksa mereka untuk tinggal di "rumah garis" yang dibangun selama masa kolonial.
"Sejujurnya saya sangat tertekan melihat cara mereka menjalani kehidupan. Lima sampai 10 orang terkurung di ruang kecil. Tidak ada fasilitas dapur atau toilet atau pancuran yang layak, hanya kondisi yang mengerikan. Saya telah merekomendasikan kepada pemerintah (Sri Lanka) untuk melakukan sesuatu tentang ini, karena terus terang saya sendiri sungguh terganggu,” kata Obokata.
Baca Juga: Bulan Lalu Minum Ramuan Anti-Corona Dari Penyihir, Sekarang Menkes Sri Lanka Positif Covid-19
Pejabat pemerintah Sri Lanka tidak segera tersedia untuk dimintai komentar.
Perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional dipengaruhi bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, di mana perempuan sebagian besar mengisi pekerjaan di sektor-sektor perkebunan, industri garmen dan tenaga kerja rumah tangga, kata Obokata.
Di sektor perkebunan, perempuan harus memenuhi target harian untuk mendapatkan upah minimum harian, kata Obokata.
“Demikian pula, target yang semakin tinggi di sektor garmen terus menekan pekerja perempuan. Akibatnya, beberapa bahkan memilih untuk tidak ke kamar mandi demi memenuhi target," katanya.
Dalam beberapa kasus, seperti di sektor perkebunan, pekerja yang lebih tua terpaksa secara teratur melakukan pekerjaan yang menantang secara fisik karena orang yang lebih muda memilih untuk bekerja di luar sektor tersebut.
Mereka tidak punya akses ke perawatan kesehatan yang memadai, perlindungan sosial, atau cuti sakit yang dibayar, katanya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Associated Press