Melacak Sejarah Sidang Isbat: Pemerintah Ingin Seragam, Ormas Punya Metode Sendiri
Kalam | 1 Mei 2022, 05:15 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Secara bahasa, isbat bermakna penyungguhan, penetapan atau penentuan. Sedangkan Sidang Isbat adalah proses untuk menentukan awal kalender hijriah.
Proses Sidang Isbat sendiri dilakukan oleh pemerintah lewat Kementerian Agama (Agama). Sidang Isbat untuk menentukan 1 Syawal tahun ini akan diselenggarakan pada hari ini, Minggu 1 Mei 2022 petang nanti.
Lantas, sejak kapan sidang Isbat jadi landasan menentukan awal bulan hijriah dalam sejarah? Lalu, apa itu imkanur rukyat yang sering disebut dalam proses Sidang Isbat?
Sejarah Sidang Isbat
Sebelum Kemerdekaan, awal bulan Kalender Hijriah ditentukan oleh masing-masing komunitas agama.
Sedangkan pada masa raja-raja Islam, hal itu ditentukan oleh para raja berdasarkan para tetua atau ulama. Para rakyat pun patuh oleh perintah raja-raja ini dan dijadikan rujukan dalam menentukan awal hijriah.
Sedangkan Sidang Isbat yang kita kenal saat ini untuk menentukan awal Ramadan/Syawal awalnya tidak digelar bersamaan seperti yang kita kenal saat ini.
Sidang Isbat baru diselenggarakan tak lama setelah kemerdekaan, tepatnya setelah dibentuk Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada 3 Januari 1946. Menteri pertama saat itu adalah KH Wahid Hasyim, ayahanda dari Presiden Keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sidang Isbat mulai berjalan pada 1950 dengan menghadirkan para ulama untuk penentuan awal bulan yang penting dan kerap ditanyakan umat Islam, yakni awal 1 Ramadan, Syawal, hingga Dzulhijjah terkait pelaksanan Iduladha dan haji.
Pada masa Orde Baru, tepatnya 16 Agustus 1972 pemerintah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) yang berfungsi melakukan penghitungan waktu ibadah umat Islam di Indonesia, mulai dari soal waktu dan arah kiblat salat hingga urusan terakait ibadah gerhana bulan atau matahari.
Baca Juga: Sidang Isbat Lebaran 2022: Kemenag Undang Muhammadiyah hingga Diumumkan Pukul 19.15 WIB
Pemerintah Ingin Seragam, Ormas Punya Metode Berbeda
Dikutip dari buku Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (2003) yang ditulis Ahmad Izzudin disebutkan tentang perbedaan metodologi penentuan awal bulan dalam masyarakat di Indonesia. Pemerintah sendiri menginginkan adanya keseragaman sebagai otoritas, namun ormas-ormas Islam punya metode sendiri.
Ia menyebut dua kelompok besar yang mewakili pandangan Islam di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhamamdiyah di satu sisi lain.
NU mewakili tradisionalisme Islam yang merujuk pada teks klasik dan nash Islam, sedangkan Muhammadiyah menggunakan ilmu pasti.
Dalam level penentuan awal bulan, misalnya, untuk 1 Syawal atau Idulftri dua organisasi perkumpulan ulama itu juga berbeda.
NU menggunakan metode yang disebut rukyatul hilal atau melihat langsung maupun lewat penyempurnaan (Istikmal). Sedangkan Muhammadiyah dikenal dengan hisab atau perhitungan matematis berdasarkan garis edar rembulan hijriah secara astronomis.
Hal itu belum lagi beberapa ormas maupun tarekat di Indonesia yang punya metode sendiri untuk menentukan awal kalender hijriah atau Qomariah.
Misalnya, Tarekat Syattariyah di Aceh yang sudah Lebaran pada Sabtu 30 April 2022, maupun jemaah An-Nadzir di Gowa yang kerap berbeda tanggal Lebaran maupun puasa Ramadan.
Penjelasan Imkanur Rukyat
Belakangan ini, pemerintah sering menyebut istilah Imkanur Rukyat. Imkanur Rukyat secara sederhana bisa diartikan sebagai jembatan antara dua metodologi, yakni hisab dan rukyatul hilal.
Dikutip dari buku Penyatuan Kalender Hijriah Indonesia yang ditulis Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Nasarudin Umar dkk, dijelaskan tentang upaya pemerintah menyatukan proses kalender hijriah ini.
Prof Thomas Djamaludin, astronom, dalam buku tersebut juga menjelaskan terkait Imkanur Rukyat ini bisa jadi metode yang efektif.
“Kriteria Imkanur Rukyat sbenarnya adalah titik temu antara praktisi hisab-rukyat di Indonesia. Kriteria imkanur rukyat dibuat berdasarkan data rukyat dan data hisab. Kriteria Imkanur Rukyat bukanlah kriteria statis," tulisnya.
Karena sifatnya statis, sebagai metode, ia akan terus berkembang. Bahkan, dalam uraiannya, misalnya ormas yang biasa pakai metode hisab seperti Muhammadiyah atau Persis, jika ragu akan kriteria Imkanur Rukyat ini maka bisa melihat dari sisi teknologi yang digunakan sebagai bagian integral proses penyatuan, serta kemajuan Islam.
Meskipun begitu, dijelaskan, proses ini tidaklah tunggal dan tidak pula ingin menyeragamkan dengan sifat memaksa tanpa mengindahkan prinsip perbedaan sebagai rahmat dalam tubuh Islam.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV