> >

Mengenang KH. Abdul Wahid Hasyim, Tokoh Cerdas dari Kalangan Santri

Kalam | 19 April 2022, 16:43 WIB
KH. Abdul Wahid Hasyim (Sumber: nu.co.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini, 19 April 2022, bertepatan dengan tahun ke-69 wafatnya KH. Abdul Wahid Hasyim. Ia merupakan salah seorang tokoh Pahlawan Nasional dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari kalangan pesantren.

Ia turut menggerakkan dan melakukan diplomasi guna memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah. Bahkan, perjuangan itu dilakukan di usianya yang relatif masih muda.

Dalam beberapa biografi KH Abdul Wahid Hasyim, ia dikatakan sebagai sosok pemuda muslim yang cerdas. Keilmuan dan kiprahnya dalam praktik pendidikan dan pengajaran, tak hanya memberikan pengaruh signifikan khusus di bidang keagamaan, tetapi juga juga mampu melakukan modernisasi di bidang lain seperti sosial dan politik.

Berikut riwayat singkat untuk mengenang KH. Abdul Wahid Hasyim.

Baca juga: Syekh Ahmad Surkati: Dari Sudan Jadi Ulama Pembaharu Islam dan Mendirikan Al-Irsyad di Indonesia

Mengarungi Ilmu Sejak Muda

KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan anak pertama dari 15 orang anak dari pasangan KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas.

Ia lahir di Jombang, pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, atau 1 Juni 1914 M.

Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok anak yang mempunyai kelebihan dengan otak yang sangat cerdas. Ia belajar al-Qur’an langsung kepada ayahnya dan khatam di usia 7 tahun.

Pendidikanya dimulai dengan belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, atau setelah selesai dari di bangku madrasah, ia diminta oleh ayahnya untuk membantu mengajar adik-adiknya dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia banyak belajar segala sesuatu secara otodidak. Ia mempelajari kitab-kitab dan buku berbahasa arab. Bahkan, ia mampu mendalami syair-syair berbahasa arab dan hafal di luar kepala, serta menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun, ia sempat belajar di beberapa pesantren, di antaranya di Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Setelah setahun di Siwalan, ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Dalam proses menuntut ilmu, Bagi KH. Abdul Wahid Hasyim, keberkatan dari sang guru sangat lah penting, bukan ilmunya. Soal ilmu, menurutnya, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain.

Pada usia 15 tahun beliau sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari secara otodidak dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Baca juga: Jejak dan Pengaruh Hamzah Fansuri, Sastrawan dan Ulama Tasawuf Abad ke-16

Pada tahun 1932, saat usianya 18 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Dua tahun kemudian, ia telah menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, KH. Abdul Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut.

Prestasi dan Pemikirannya Soal Pendidikan Pesantren

Pada usia 25 tahun Wahid Hasyim bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian atau pada saat usianya baru 26 tahun, Wahid Hasyim menjadi Ketua MIAI.

Kariernya terus menanjak dengan cepat. Ia menjadi Ketua PBNU pada usia 32 tahun, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada usia 31 tahun, hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman) pada usia 31 tahun.

Selama menjadi Menteri Agama, beliau telah membentuk beberapa programnya, diantaranya:

  1. Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta.
  2. Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950.
  3. Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia.
  4. Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Fokus utama pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Sebagai seorang santri, upaya peningkatan kualitas tersebut dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren.

Berkat pemikirannya itu, Wahid Hasyim memberikan banyak sumbangsih perubahan untuk dunia penididikan di pesantren. Pesantren tidak lagi berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), tetapi juga menjadi terbuka dengan urusan duniawiyah (dunia).

Baca juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan

Pernikahan dan Wafat

KH. Wahid Hasyim menikah di usia 25 tahun, dengan Solichah, putri K.H. Bisri Syansuri yang saat itu masih berusia 15 tahun.

Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil atau Gus Dur (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB dan Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah K.H. Yusuf Hasyim), Umar Al-Faruq (dokter lulusan UI), Lilik Khadijah dan Muhammad Hasyim.

Wahid Hasyim meninggal di usia ke 39, tepatnya tanggal 19 April 1953 setelah sehari sebelumnya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang dalam perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU.

Penulis : Baitur Rohman Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU