Kasus Covid Tembus 57.000 dalam Sehari, Pemerintah Diperingatkan agar Tidak Terlalu Percaya Diri
Bbc indonesia | 18 Februari 2022, 10:35 WIB"Kalau memang dia sudah divaksin, sudah dua kali, sudah booster, tidak ada komorbid, ya jalan-jalan saja," kata Luhut dalam keterangannya kepada media.
Hal ini dikatakannya berdasarkan klaim angka kematian kasus Covid sejauh ini didominasi dari pasien belum mendapatkan vaksin, atau baru mendapat dosis pertama, memiliki komorbid dan dari kategori lansia.
Luhut juga membandingkan angka kematian saat varian delta rata-rata 1000 kasus per hari, dengan varian omicron per 14 Januari 2022 tercatat 145 kasus kematian.
"Nggak perlu ada yang dikhawatirkan berlebihan. Kita belum ada lihat, untuk ada pengetatan lagi, tidak. Justru kita ada pelonggaran-pelonggaran yang kita lakukan tetap dengan monitoring yang ketat," tambah Luhut.
Sejauh ini pelonggaran kebijakan yang telah ditetapkan adalah mengurangi masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri. Semula lima hari dipangkas menjadi tiga hari mulai awal Maret 2022.
Syarat ini berlaku bagi mereka yang sudah mendapat vaksin ketiga, dan tetap menjalani tes PCR di hari ketiga karantina.
Kasus melonjak lagi
Pelonggaran-pelonggaran kebijakan ini juga berdasarkan kasus harian yang turun beberapa hari terakhir, yaitu 55.209 kasus (12 Februari) turun menjadi 44.526 (13 Februari) lalu turun lagi menjadi 36.501 kasus (14 Februari).
Namun, data terbaru yaitu 15 Februari menunjukkan lonjakan lagi menjadi 57.049 kasus.
Sementara, angka kematian memiliki kecenderungan tren peningkatan dalam satu bulan terakhir. Per 15 Februari angka kematian harian tercatat 134 kasus, dibandingkan Januari di tanggal yang sama hanya tercatat empat kasus harian kematian.
'Jangan terlalu percaya diri'
Sejauh ini, angka kematian yang dilaporkan pemerintah adalah pasien yang terkonfirmasi Covid-19. Sementara mereka yang meninggal dengan gejala berat Covid tidak masuk hitungan. Pencatatannya juga terjadi perbedaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Koordinator Advokasi Lapor Covid-19, Firdaus Ferdiansyah meyakini data kematian pemerintah tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan.
"Karena kalau berdasarkan laporan di lapangan itu ada kasus tidak dilaporkan, ketika tidak dilaporkan, tidak ditangani," kata Firdaus.
Baca juga:
- Seperti apa dan bagaimana asal muasal varian Omicron?
- Mengapa orang yang telah divaksin masih bisa tertular Covid-19?
Ia juga memperingatkan agar pemerintah "hati-hati, jangan terlalu percaya diri", karena situasi varian omicron masih belum bisa diprediksi.
Pemerintah, kata dia, harus belajar dari gelombang delta di mana semestinya menguatkan kebijakan-kebijakan yang "konkret", seperti penguatan testing dan tracing, perlindungan tenaga kesehatan, penanganan medis bagi masyarakat yang melakukan isolasi mandiri, serta memperkuat kapasitas tenaga di tingkat puskesmas.
"Jangan menjadikan pandemi ini kayak kejadian [kemarin], pasti akan telat, tetapi kan kita bisa mengambil lesson learn," kata Firdaus.
Sejauh ini, yang dilakukan pemerintah, lanjut Firdaus, justru membuat narasi yang dapat membuat masyarakat meremehkan pandemi.
"Akhirnya, mau mencoba memutarbalikan narasinya bahwa omicron lebih ringan, jadi jangan takut," katanya.
Tunggu angka rata-rata mingguan
Menurut Prof Tjandra Yoga Aditama, angka harian ini belum menggambarkan situasi pandemi.
Direktur pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan, pelonggaran kebijakan tak bisa dilakukan dengan melihat angka kasus harian, tapi bisa dipertimbangkan, "Kalau angka mingguan melandai, menurun," katanya.
Penghitungan angka kasus per minggu ini yang umum dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk melihat tren kasus, dan kebijakan yang perlu diambil.
Di samping itu, Prof Tjandra menyoroti angka kasus kematian harian yang meningkat, semula di bawah 10 menjadi lebih dari 100 dalam satu pekan terakhir. Ia berharap angka kematian ini tidak dipandang sebelah mata.
"Benar, jumlah yang meninggal jauh lebih kecil dari pada waktu delta kasusnya 50.000, yang meninggal 2.000. Tapi itu kan nyawa orang, nggak bisa nyawa orang itu dikatakan dulu kan 2.000 sekarang 100. Itu rasanya tidak terlalu fair juga," kata Prof Tjandra.
Menurutnya pemerintah perlu melakukan audit serta membuka data rinci terkait kematian yang disebut didominasi oleh pasien yang belum vaksin lengkap, komorbid atau lanjut usia.
Sejauh ini, Prof Tjandra memperkirakan penyebab kasus kematian Covid dibagi menjadi tiga; karena virus, covid yang diperburuk komorbid, dan meninggal "karena komorbidnya, bukan covidnya".
Ia juga meminta agar pemerintah memetakan di mana pasien meninggal. Hal ini untuk menganalisa tentang apa yang terjadi dengan sistem kesehatan, ketika pasien meninggal justru sedang melakukan isoman.
Melalui audit kematian ini diharapkan bisa dilakukan upaya-upaya "untuk menekan angka kematian ini".
"Bukan hanya angkanya, tapi satu nyawa berharga," kata Prof Tjandra.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC